Lihat ke Halaman Asli

Florensius Marsudi

Manusia biasa, sedang belajar untuk hidup.

Deviasi, Goblok ala Butet Kertaradjasa

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Manusia bertanggung jawab, baik terhadap deviasinya ke arah yang jahat maupun terhadap kejahatan-kejahatan (atau gangguan-ganguan) yang timbul dari deviasi itu bagi keseluruhan hubungan manusia.”1)

Ada “penyimpangan”-deviasi,  itulah kesan pertama, ketika sekian waktu yang lalu, Butet Kertarasadjasa (BK) menyambangi gedung KPK. BK bersama dengan masyarakat (pegiat anti korupsi) yang lain menyampaikan aspirasinya, bahwa KPK bagaimanapun juga, masih dibutuhkan oleh rakyat Indonesia. Pada kesempatan tersebut BK melontarkan kata-kata,

"Ini goblok-goblokan aja deh. Segoblok-gobloknya masyarakat Indonesia yang punya akal sehat, pasti tetap melihat bahwa penangkapan Pak Bambang itu terkait penetapan tersangka Komjen Pol Budi Gunawan," ujar Butet di gedung KPK, Jumat, 23 Januari 2015. 2).

Pertanyaan dalam hati saya, mengapalah BK melontarkan kata, “goblok-goblok” dalam situasi tersebut? Apakah “ada udang di balik bakwan?” ataukah “ada udang dibalik celana, sehingga udang itu bisa kruget-kruget?”

Berikut ini paparan sekaligus tanggapan saya sebagai masyarakat yang goblok itu.

Pertama, kita ini (termasuk saya) adalah termasuk prototipe manusia yang mudah buntu akal. Alias manusia yang goblok. Manusia yang buntu akal, akal mampet (seperti saluran air), distribusi akalnya (air kebijakannya) tak lancar bahkan tak sampai ke tujuan, sehingga ada hal-hal yang semestinya disikapi secara cerdas, lugas dan tuntas, eh…malah persoalan tersendat-sendat, tak segera tuntas!

Selain sebagai pembeda antara manusia dengan binatang, akal juga bagian hakiki insani- manusia. Sekalipun kaum cerdik pandai menerangkan bahwa manusia itu animal rationale, namun ke-animal-an, nafsu kebinatangan itu juga kadang tampak pada manusia.  Keserakahan, tambeng, tak tahu diri dll, itulah bagian dari ke-animal-an, kebinatangan manusia. Apakah kita sudah sangat terlepas dari nafsu tersebut?

Apakah manusia “rugi” dengan nafsu itu? Dari sisi manusiawinya iya. Manusia rugi, karena ia biasa - bisa jadi - disamakan dengan “si kaki empat”, “ si loreng bertaring” dan seterusnya. Dari sisi keluhuran budi, lebih lagi, lebih rugi. Manusia lebih rugi, seolah ia tak berdaya sama sekali, padahal manusia memiliki daya kekang, daya kendali oleh budinya.

Kedua, BK memaparkan kata-kata “goblok” tersebut karena tak ada kata yang pas lagi untuk mewakili kondisi saat itu.  Pastilah BK tak bermaksud merendahkan anda dan saya sebagai pemerhati media, penikmat suasana damai, bahkan sebagai pecinta kejujuran. Ketika kejahatan dibalas dengan kejahatan, ketika cacian dibalas dengan makian, maka semua akan semakin tambah runyam. Apakah kita mau diberi lebel “pencaci” dan “pemaki”? Saya hanya berharap dalam kondisi apapun kita akan menjadi manusia yang sadar diri, dan mempunyai makna diri!

Terakhir, saya melihat bahwa apa yang dilontarkan BK, adalah bagian dari ekspresi dirinya sebagai seorang manusia pecinta seni dan budaya. Kita ingat, seni kadang membutuhkan ekspresi.3)  Ekspresi seorang seniman pastilah lain dengan ekspresi seorang politikus (yang artis sekalipun).

Jadi, apapun yang dikatakan Butet Kertaradjasa, tetaplah saya iyakan. Iya saya ini memang manusia yang “goblok”. Untunglah kegoblokan saya itu menyadarkan saya, bahwa saya masih bisa berpikr sedikit, minimal menuliskan kegoblokan saya itu di Kompasiana ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline