Pajak rokok dan bea cukai adalah bentuk pendapatan negara yang diperoleh dari produk-produk tertentu seperti rokok, alkohol, minuman berenergi tinggi, dan produk berbahaya lainnya. Pajak semacam itu dianggap sebagai sumber pendapatan yang signifikan bagi pemerintah. Dengan memanfaatkan pendapatan dari pajak rokok dan bea cukai untuk tujuan pembiayaan kesehatan, pemerintah dapat mencapai beberapa tujuan penting, diantaranya:
- Peningkatan Pembiayaan Kesehatan. Pendapatan dari pajak rokok dan bea cukai dapat dialokasikan untuk meningkatkan dana yang dapat membantu dalam meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan yang berkualitas.
- Pengurangan Konsumsi Produk Berbahaya. Adanya pajak dan bea cukai yang ditetapkan bagi produk rokok ini dianggap dapat mengurangi konsumsi rokok di kalangan masyarakat luas. Selanjutnya, hal ini diharapkan mampu berdampak positif bagi kesehatan masyarakat dan mengurangi biaya perawatan kesehatan.
- Pendekatan yang Konsisten dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Pemanfaatan pendapatan dari pajak rokok dan bea cukai untuk tujuan kesehatan mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) ke-3, yang pada akhirnya berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat.
Kepala kanwil Bea Cukai Jatim II, Oentarto Wibowo, mengungkapkan bahwa kebijakan bea cukai produk rokok ini sesuai dengan visi-misi Presiden Republik Indonesia yaitu ‘SDM Maju, Indonesia Unggul’, melalui komitmen pengendalian konsumsi demi kepentingan kesehatan. Selain itu untuk perlindungan terhadap buruh, petani, dan industri dengan meminimalisir dampak negatif kebijakan, sekaligus melihat peluang dan mendorong ekspor hasil tembakau Indonesia.
Dibalik banyaknya manfaat dari penerapan pajak dan bea cukai terhadap produk rokok, ternyata di kalangan masyarakat juga terdapat beberapa pemikiran yang menganggap kebijakan pajak dan bea cukai produk rokok ini sebetulnya belum berjalan maksimal. Dilihat dari segi ekonomi, harga pajak rokok yang mahal, maka akan membuat harga jual rokok juga semakin mahal. Sehingga, para produsen rokok juga memerlukan modal yang lebih untuk memperoduksi rokok. Dan bisa saja demi memotong anggaran produksi, produsen melakukan pemutusan hubungan kerja bagi para tenaga kerja yang dianggap bisa digantikan fungsinya dengan mesin. Selain itu, jumlah pajak dan bea cukai yang cukup tinggi akan membuat harga rokok pun mengalami kenaikan. Sehingga konsumen akan memilih rokok dengan sensasi yang sama tetapi harganya relatif lebih rendah. Celah ini dimanfaatkan pelaku bisnis rokok ilegal.
Memang sulit rasanya untuk membuat kebijakan yang mampu memuaskan semua pihak. Dan begitu pun halnya dengan kebijakan pajak dan bea cukai pada produk rokok ini. Jika ditinjau dari manfaatnya bagi pelayanan kesehatan, memang sepertinya kebijakan ini sangat membantu dan membawa pengaruh positif bagi sektor pelayan publik terutama di bidang kesehatan. Namun, tak jarang pada penerapannya dalam kehidupan nyata, kebijkan ini justru menjadi boomerang bagi masyarakat sendiri.
Namun, perlu diingat bahwa penerapan kebijakan ini dapat melibatkan banyak aspek seperti kebijakan perpajakan, alokasi anggaran, serta upaya edukasi dan advokasi untuk memastikan pemahaman masyarakat tentang manfaat dari langkah-langkah ini. Maka dari itu, penting untuk melakukan beberapa langkah strategis. Dimulai dengan mempertimbangkan formulasi cukai, setidaknya menyeimbangkan antara kesehatan dan ekonomi. Selanjutnya, dapat dilakukan formulasi yang juga mempertimbangkan dimensi lainnya seperti pendapatan negara, tenaga kerja hingga potensi kenaikan rokok ilegal. Hal ini dilakukan untuk dapat mencapai hasil yang maksimal seperti yang diharapkan dari penerapan kebijakan pajak dan bea cukai bagi produk rokok ini.
Sumber:
https://ekonomi.bisnis.com/read/20210915/9/1442444/opini-reformulasi-kebijakan-cukai-rokok
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H