Remaja merupakan kelompok usia yang berada dalam fase transisi penting dari anak-anak menuju dewasa, di mana perkembangan fisik, emosional, dan psikologis terjadi dengan cepat. Sayangnya, dalam masa ini, banyak remaja yang kurang mendapatkan pendidikan yang memadai mengenai kesehatan reproduksi. Data Kajian Kesehatan Reproduksi Remaja di Indonesia mengungkapkan bahwa 5.912 remaja perempuan berusia 15 hingga 19 tahun telah terlibat dalam hubungan seksual (BKKBN), angka yang mengkhawatirkan mengingat usia mereka yang masih rentan. Ketidaksiapan secara emosional dan minimnya pengetahuan tentang dampak dari perilaku seksual yang tidak aman membuat remaja rentan terhadap berbagai risiko, termasuk penyakit menular seksual (PMS) seperti HIV/AIDS. Selain itu, keterlibatan dalam hubungan seksual tanpa perlindungan dapat menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), yang sering kali berakhir dengan tindakan aborsi tidak aman, mengingat banyak remaja yang memilih cara ini sebagai solusi tanpa menyadari risikonya terhadap kesehatan fisik dan mental.
Penyebab utama dari perilaku berisiko ini berakar pada kurangnya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi. Pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah atau lingkungan keluarga sering kali masih tabu dibicarakan, sehingga remaja mencari informasi dari sumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, seperti internet atau teman sebaya. Sikap remaja terhadap isu kesehatan reproduksi juga dipengaruhi oleh norma sosial dan budaya yang ada di sekitar mereka. Di beberapa daerah, berbicara mengenai seksualitas masih dianggap sebagai hal yang memalukan, sehingga remaja tidak merasa nyaman untuk bertanya atau belajar tentang hal tersebut. Selain itu, akses yang mudah terhadap media seksual, terutama di era digital ini, turut memperburuk situasi. Remaja dapat mengakses konten yang tidak sesuai usia mereka, yang pada gilirannya membentuk pandangan yang salah dan perilaku yang tidak bertanggung jawab terhadap seksualitas.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif melalui pendidikan kesehatan reproduksi yang lebih terbuka dan terstruktur, baik di lingkungan sekolah maupun keluarga. Pendidikan ini harus mencakup informasi tentang risiko penyakit menular seksual, pentingnya penggunaan kontrasepsi, serta bagaimana mengambil keputusan yang bijaksana terkait kesehatan reproduksi. Dengan begitu, diharapkan remaja dapat lebih memahami konsekuensi dari setiap tindakan mereka, dan dapat melindungi diri dari berbagai risiko yang membahayakan kesehatan dan masa depan mereka.
SUMBER :
*https://jurnal.umsb.ac.id/index.php/menaramedika/article/view/2168
*https://riset.unisma.ac.id/index.php/JP2M/article/download/19818/15625/57547
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H