Lihat ke Halaman Asli

Tegar Bramantya

Mahasiswa Hubungan Internasional

Bangkitnya Taliban dan Politik Gender Apartheid

Diperbarui: 10 Juni 2022   15:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Jatuhnya Kabul pada 15 Agustus 2021, dan pengambil alihan pemerintahan oleh Taliban, merupakan beberapa runtutan peristiwa yang terjadi pada tahun 2021. Pemerintahan yang diambil alih oleh Taliban memunculkan sebuah topik, dimana hak perempuan dan para minoritas akan diperlakukan dibawah rezim Taliban di Afghanistan.

Ada pepatah mengatakan bahwa "Sejarah adalah pengulangan tanpa akhir dari cara hidup yang salah", yang dimana menurut sejarah sendiri, Rezim Taliban yang dibentuk pada tahun 1996-2001, menunjukan bahwa adanya pelucutan hak-hak bagi perempuan dan kaum minoritas. 

Walaupun berdasarkan press conference yang diadakan oleh pihak Taliban akan menghormati hak-hak perempuan akan tetapi dalam lingkup yang diperbolehkan oleh Islam, hal ini merupakan sebuah kontrakdisi dari sejarah yang ada dan beberapa pernyataan dari figure-figur penting Taliban, yang menyatakan bahwa "Wanita tidak bisa mengemban tugas kepemerintahan, mereka sepatutnya hanya harus melahirkan saja", pernyataan ini menyudutkan Perempuan ke arah prostitusi yang dimana mereka hanya dipakai untuk aspek reproduksinya. 

Penutupan sekolah dan universitas untuk perempuan, Meskipun Taliban secara resmi menyatakan bahwa mereka tidak lagi menentang pendidikan anak perempuan, sangat sedikit pejabat Taliban yang benar-benar mengizinkan anak perempuan untuk bersekolah setelah pubertas. Yang lain sama sekali tidak mengizinkan sekolah perempuan. Ketidakkonsistenan telah membuat warga waspada. 

Seperti yang dikatakan seorang guru di provinsi Wardak di Afghanistan tengah, "Hari ini, [seorang pejabat Taliban] memberi tahu Anda bahwa mereka mengizinkan anak perempuan hingga kelas enam, tetapi besok, ketika orang lain datang, dia mungkin tidak menyukai pendidikan anak perempuan." 

Pejabat Taliban di beberapa distrik Kunduz telah mengizinkan sekolah dasar anak perempuan untuk beroperasi dan dalam beberapa kasus mengizinkan anak perempuan dan perempuan muda untuk bepergian ke daerah yang dikuasai pemerintah untuk bersekolah di sekolah menengah dan universitas. 

Sebaliknya, di beberapa distrik yang dikuasai Taliban di provinsi Helmand, tidak ada sekolah dasar yang berfungsi untuk perempuan, apalagi sekolah menengah---beberapa distrik pedesaan ini tidak memiliki sekolah perempuan yang berfungsi bahkan ketika berada di bawah kendali pemerintah. 

Di distrik-distrik yang dikuasai Taliban, LSM yang menjalankan program pendidikan berbasis masyarakat telah mampu memberikan pendidikan yang tidak dapat diakses oleh sekolah lain. Di beberapa distrik, Taliban telah memberlakukan "pajak" pada gaji guru dan mengancam guru dan penduduk yang kerabatnya mengajar di sekolah-sekolah di daerah-daerah yang dikuasai pemerintah di dekatnya. 

Pejabat Taliban mengklaim bahwa perbedaan akses pendidikan antara kabupaten dan provinsi disebabkan oleh masalah keamanan dan berbagai tingkat penerimaan pendidikan anak perempuan di dalam komunitas itu sendiri. 

Ada penolakan terhadap pendidikan anak perempuan di banyak komunitas pedesaan di Afghanistan. Namun, pejabat distrik dan provinsi Taliban juga menentukan implementasi kebijakan di wilayah yang mereka kuasai. 

Pendekatan mereka yang tidak konsisten terhadap sekolah perempuan, mencerminkan pandangan yang berbeda-beda setiap orangnya, posisi mereka di dalam hirarki Taliban, dan hubungan mereka dengan komunitas lokal. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline