Lihat ke Halaman Asli

Secangkir Kopi Hitam

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lalu lalang kendaraan melintasi jalan raya yang kian hari semakin meretak, rapuh. Jalan raya tua yang sudah tak dihiraukan lagi oleh pemerintah untuk diperbaiki. Konon katanya jalan raya ini mempunyai sejarah yang buruk dan mengerikan. Banyak tragedi kecelakaan dan berakhir kematian yang mengerikan, oleh sebab itu tak banyak khalayak yang memilih untuk melewati jalan itu. Namun hal ini tidak berlaku  bagi para penikmat minuman berkafein. Ternyata tak sedikit dari mereka memilih untuk melintasi jalan raya itu demi segelas atau bahkan seseruput minuman hitam yang mengandung serbuk kopi itu. Entah kenikmatan apa yang membuat mereka rela antri untuk mendapatkan semua itu. Apalagi saat putung- putung rokok berserakan di setiap asbak yang terdapat di meja ruangan itu dan berbagai aroma tak sedap yang seringkali membuat tak nyaman dan yang menjadikan tanda tanya besar bagiku tentang kenikmatan apa yang di dapat hingga harus mengorbankan hidung dengan udara tak sehat itu.

Kafe Semerbak, begitulah orang-orang menyebutnya. Mungkin dari aroma- aroma yang tak bisa terdeteksi itu yang menjadikan nama tersebut semakin tercium oleh semua kalangan baik dari tingkat menengah kebawah sampai kalangan paling atas di seluruh penjuru Negara, seolah tak ada yang tak mencium aroma semerbak kafe itu. Tak hanya itu, desas desus yang membawa nama kafe itu pun selalu terdengar dari setiap lisan para khalayak. Yah, tentunya itu yang menjadikan nama kafe ini semakin melejit.

Semakin hari tak dapat celah lagi yang bisa kuintai dari lubang-lubang kecil terbuat dari semen di sebelah tempat itu. Semakin banyak pendatang yang memadati bangunan klasik yang dipenuhi kaca buram nan hitam. Kadang terbesit sebuah kenangan yang tragis hingga aku berkali-kali menahan diriku untuk melakukan itu. Yah, keinginanku hanya satu. Ingin memusnahkan semerbak itu. Semerbak yang tak lagi merusak hidung, bahkan merusak otak dan hati para pendatang.

“Maria, cepat masuk rumah”

Perintah Ayahku yang selalu kudengar setiap kali dia mendapatiku mengintai dari balik lubang- lubang kecil tempat pergantian udara. Penyampaiannya selalu dengan penekanan yang amat dalam, terselip untaian kisah masalalu yang kelam dalam setiap hembusan nafasnya. Dan tentunya aku pun harus mengikuti perintahnya.

“ayah tidak mau jika kau harus berakhir seperti mendiang kakakmu”

Dan tambahan kalimatnya inilah yang selalu membebani otakku, bahkan menjadikannya sebagai monitor penggerak pola pikirku.

***

“ayo minum Reihan! Hanya segelas kopi hitam saja kau tak mau mencobanya!” suara seorang teman reihan yang terdengar amat menjatuhkan. Saat itu, Reihan hanya memandang kosong secangkir kopi hitam tanpa respon apapun.

“apa bedanya kau dengan para wanita itu,” tambah suara itu. Kali ini suaranya semakin menekan, menjatuhkan. Seraya menunjukkan beberapa wanita manja yang barusaja melintas di hadapannya, Sedangkan reihan tetap dengan pandangan kosongnya.

“dan kau rela dengan wanitamu, agar bersamaku?” tambahnya lagi. Sejenak Reihan terbangun dari kekosongannya, memandang sosok lelaki di hadapannya lekat-lekat. Tersorot amarah yang amat menyeruak. Sorotan yang amat tajam bak asahan pisau yang baru saja diasah ulang. Beberapa menit dalam diam, lalu segera menghabiskan secangkir kopi hitam yang dihadapkan kepadanya. Seketika sorot mata seisi ruangan hanya tertuju kepadanya. Mungkin bagi mereka ia adalah sosok yang amat pemberani dalam menghabiskan minuman dengan berbagai ramuan haram yang tercampur di dalamnya- yang telah mereka ketahui sebelumnya. Dan bagi mereka ini merupakan cinta buta. Hanya demi seorang wanita yang dicintainya-mungkin- ia rela menelan duri kematian. Atau memang ia sudah tahu akibat apa yang akan dialaminya, atau bahkan memang ia ingin bunuh diri? Yah, berbagai kemungkinan telah tersebutkan, dan ini mungkin hanya beberapa dari setiap kepala penonton adegan mengerikan itu.

Waktu pun berlalu, suara hiluk piluk kendaraan para polisi mulai terdengar lirih, semakin mendekat dan yah, suasana kafe pun seketika hening. Entah kemana para pengunjung yang sebelumnya terdengar ricuh tiba-tiba membisu bahkan hanya tinggal putung-putung rokok serta cangkir-cangkir kosong yang kotor dan seorang laki-laki yang tertinggal dengan mulut yang penuh busa. Lemah tak berdaya. Parasnya yang atletis dan kuat pun tak terlihat seperti sebelumnya, benar- benar tak berdaya.beberapa barang yang ditemukan para polisi pun segera dikemas untuk diseidiki dan yang lainnya membawa laki-laki itu ke rumah sakit.

Beberapa hari dirawat namun memang takdir telah menjemputnya untuk kembali. Dan ia pun meninnggal dikarenakan overdosis dari campuran bahan ekstasi yang terdapat pada minuman yang beberapa menit sebelum meninggal ia minum. Tentunya telah diselidiki oleh para polisi yang menemukannya dalam keadaan yang mengenaskan.

***

“Reihan Firmansyah”

Tertulis rapi di atas batu nisan yang sedang terpendam sebagian dengan gundukan tanah pemakaman. Aroma bunga kamboja kian semerbak karena hembusan angin sore yang sejuk. Yah, bukan lagi semerbak aroma serbuk kopi dan asap rokok yang tercium melainkan wewangian bunga pemakaman yang entah ada atau tidak manfaat bagi pemilik batu nisan. Beberapa derai air mata terjatuh dari setiap pandangan orang-orang disekitar pemakaman. Betapa malangnya sosok yang barusaja ditempatkan di lubang yang sempit lalu ditimbun dengan tanah pemakamanyang harus hidup sendiri tanpa seorang pun menemani di alam sana. Beberapa kali aku mengusap mataku, membersihkan beberapa tetesan airmata dan meyakinkan ukiran batu nisan yang sejak tadi tak henti kulihat. Yah, kakakku sudah tiada. Ia pergi meninggalkan kami untuk menuju alam barunya.

Kesehariannya yang sangat mengagumkan membuat para lelaki lain iri kepadanya karena tak sedikit wanita muslimah yang ingin menjadi pendampingnya. Ia adalah idolaku kala itu, selalu rajin sholat jamaah di masjid dan merapikan masjid kala sebelum dan sesudah sholat dilaksanakan. Bahkan ia sempat diminta beberapa orang tua untuk mengajar mengaji bagi anak- anak mereka. Namun, beberapa bulan sosok yang ku kenal pun menghilang. Setelah mengenal beberapa teman baru yang liar, ia jadi jarang sholat, bahkan untuk berjamaah untuk sholat sendiri saja beberapa kali aku mengingatkannya hanya berlalu dalam telinga. Entah sejak itu aku semakin tak mengenali sosok kakakku. Seperti dunia sedang berbalik bagiku terhadapnya. Lambat laun, aku mulai menjadi dewasa. Aku mempelajari agama islam dengan seksama dan memang begitulah takdir Tuhan yang telah tertulis di lauh mahfuduntuk kakakku. Dan dari sini aku belajar meski awal baik tak selamanya semua itu akan berakhir dengan kebaikan, ini tergantung dari individu masing masing. Bagaimana ia harus menjaga dirinya agar dapat meninggalkan dunia ini dalam keadaan yang husnul khotimah. Dan bagaimanapun ajal pasti datang, seolah secangkir kopi hitam dan teman kakakku yang terjahat itulah pengantar kematian kakakku, dan tentunya dengan kafe dengan semerbak bau tak jelas yang sempat membuatku ingin membakarnya. sejenak aku pun memahami, menelaah kejadian yang sudah lama namun tak pernah kudapati kebenarannya. Yah, memang sudah tertulis dalam skenario hidup jika memang akhir dari kisah kakakku adalah seperti ini, naudzubillah. Dan sungguh, aku telah sadar bahwa secangkir kopi hitam, teman kakakku dan kafe semerbak bukanlah sebab hakiki kematian kakakku melainkan hanya perantara yang telah diskenariokan Tuhan dalam bukunya.*

Seblak-jombang, 5 desember 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline