"Kalau sudah besar nanti kakek akan memberimu mata kuliah 7 Macam Kepribadian. Dari tatapan matamu, kakek dapat melihat bahwa kamu adalah anak yang pintar. Tapi kamu harus pergi ke sekolah agar bisa belajar bersosialisasi dan toleransi", wasiat sang 'Kritikus Sastra' julukan kakek Mukhsin Ahmadi waktu itu kepada saya.
Saya, Maharsyalfath Izlubaid Qutub Maulasufa (18) merupakan siswa MAN 1 Jombang, Jawa Timur. Saat ini saya duduk di kelas XII Bahasa, Sastra, dan Budaya. Nama panggilan saya, Alfath artinya kemenangan, yang juga bisa bermakna bahwa hidup harus diperjuangkan. Passion saya pada seni musik dimulai ketika usia lima tahun. Darah seni tumbuh dari keluarga ibu. Saat itu, saya menyukai mainan drumset, gitar plastik, dan juga suka menirukan irama lagu.
Saya tertarik belajar seni dan budaya. Kakek mengenalkan saya pada berbagai budaya dan cerita tentang perjalanannya ke Amerika Serikat. Beliau merupakan dosen di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra (FPBS) IKIP Malang, mengajar mata kuliah Bahasa Indonesia, Filsafat Ketuhanan, dan Ilmu Budaya Dasar. Kampus itu kini berubah nama menjadi Universitas Negeri Malang (UM).
Nama beliau Mukhsin Ahmadi (almarhum, 2009), dikenal sebagai kritikus sastra, dan seniman. Kerap disapa Pak Mukhsin oleh para sahabat terdekatnya, di antaranya budayawan Emha Ainun Nadjib atau Mbah Nun (Cak Nun) dan almarhum penyair WS. Rendra.
Saya menjadi teringat ketika usia 5 tahun. Kakek memberi wasiat kepada saya. Terkait dengan wasiatnya, beliau pernah mengikuti program Refresher C di University of Houston, Texas, Amerika Serikat, tahun 1988. Selama di Houston, beliau punya tiga karya buku berjudul: 1. Dasar-Dasar Komposisi Bahasa Indonesia, 2. Keterampilan Berbahasa dan Apresiasi Sastra, 3. Penyusunan dan Pengembangan Paragraf.
Sedangkan wasiat kakek tentang 'Tujuh Macam Kepribadian' ada pada buku The 7 Habits of Highly Effective People karya Stephen R. Covey, 1989. Buku ini sangat populer di Amerika. Saya membaca versi terjemahan, "Tujuh Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif", sebuah buku pembakar semangat saya dalam menggapai impian.
Untuk mencapai impian itu, nilai-nilai ketuhanan (Habluminallah) dan kemanusiaan (Habluminannas) menjadi pedoman terpenting dalam hidup saya. Nilai ketuhanan sebagai wujud dari hubungan antara manusia (creation) dengan Tuhannya (creator). Selaras dengan Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Nilai ketuhanan ini juga ada di bagian terakhir Seven Habits, Sharpen the Saw; Growth yaitu memperkuat nilai spiritual. Saya meyakini bahwa memegang nilai ketuhanan dapat memperoleh kekuatan, perlindungan, dan kemudahan dari Tuhan. Inilah bekal untuk mewujudkan pribadi mandiri, tekun, giat berusaha, meningkatkan kemampuan diri, dan hidup bersosialisasi. Selanjutnya: Peran Musisi Muda...