Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang di dalamnya terdiri dari belasan ribu pulau yang terbentang dari barat sampai timur, utara sampai selatan yang menjadikan Indonesia sebagai tempat yang kaya budaya. Keberagaman dalam budaya Indonesia tercermin pada budaya-budaya lokal yang berkembang di masyarakat. Keberagaman tersebut tidak muncul begitu saja tetapi dipengaruhi oleh budaya-budaya yang tumbuh di masyarakat. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Keberagaman dan keunikan setiap budaya menjadi hal yang sangat bernilai di era globalisasi mengingat pada era ini banyak sekali pengaruh yang dapat mengikis kebudayaan dalam suatu masyarakat.
Salah satu budaya unik yang terdapat di Jawa Barat adalah budaya di Kampung Pulo yang berlokasi di Kabupaten Garut. Tak hanya keindahan alam yang dapat dinikmati di Garut, Jawa Barat, melainkan terdapat juga sebuah kampung adat yang menandakan adanya penyebaran agama di sana. Kampung adat tersebut bernama Kampung Pulo. Poin penting yang terdapat pada masyarakat Kampung Pulo adalah masih terjaganya nilai-nilai budaya dan adat istiadatnya. Masyarakat adat memiliki aturan dan gaya hidup yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya karena ada hukum yang mengikatnya yaitu hukum adat. Hukum adat bertujuan untuk mengatur kehidupan demi kepentingan bersama di dalam suatu kampung adat. Hukum adat yang berlaku dalam masyarakat adat sesuai dengan nilai-nilai budaya yang berkembang dalam kehidupan mereka. Masyarakat adat akan memelihara budaya dari leluhur mereka secara turun temurun.
Letaknya berada di kompleks Candi Cangkuang, persis sebelum pintu masuk candi tersebut. Suasana kampung ini begitu asri, senyap, bersih dan jauh dari hiruk pikuk kendaraan. Perjalanan menuju Candi Cangkuang pun melewati jalan dengan tawaran pemandangan sawah di bagian kanan dan kiri jalan. Suasana dan udara menuju Candi Cangkuang (Kampung Pulo) terasa sejuk. Untuk bisa sampai di Kampung Pulo, wisatawan harus menyebrangi danau dengan menggunakan rakit sebagai kendaraan dan sedikit berjalan kaki untuk menemukan gerbang Kampung Pulo. Rakit tersebut dibuat dari bambu. Rakit dikayuh oleh satu orang menggunakan bambu panjang. Kedalaman danau diperkirakan 1,5 meter.
Kampung Pulo merupakan suatu perkampungan yang terdapat di tengah kawasan Candi Cangkuang. Lebih tepatnya, terletak di Desa Cangkuang, Kampung Cijakar, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Candi Cangkuang adalah Candi Hindu yang pertama dan satu-satunya Candi Hindu di tatar Sunda. Candi Cangkuang merupakan peninggalan Hindu Abad ke-8. Bangunan Candi berukuran 4,5x4 meter persegi dengan tinggi 8,5 meter. Diberi nama Candi Cangkuang karena candi ini terdapat di Desa Cangkuang. Tidak hanya itu, di desa ini terdapat pohong Cangkuang yang merupakan sejenis tanaman palem. Masyarakat adat Kampung Pulo yang menempati daerah Candi Cangkuang masih memegang teguh tradisi dan nilai-nilai budaya. Masyarakat adat Kampung Pulo menjadikan tradisi dan nilai-nilai budaya tersebut sebagai pedoman hidup. Di Kampung Pulo ini terdapat fenomena akulturasi budaya yang unik yaitu masyarakat muslim setempat masih melaksanakan tradisi Hindu yang diwariskan secara turun temurun dalam berabad-abad. Walaupun seluruh masyarakat adat Kampung Pulo beragama Islam, namun mereka masih menjalankan tradisi-tradisi Hindu seperti upacara adat, memandikan benda pusaka, syukuran, dan ritual lainnya.
Tempat ini memiliki sejarah yang unik dimulai ketika Embah Dalem Arif Muhammad yang merupakan seorang utusan dari kerajaan Mataram melakukan penyerangan terhadap Kompeni Belanda, Verinigde Oost-Indische Compagne (VOC) di Batavia yang pada waktu itu berada di bawah pimpinan J.P. Coen. Penyerangan ini mengalami kekalahan, karena itulah Embah Dalem Arif Muhammad mundur ke Priangan Timur sampai ke daerah Cangkuang. Beliau malu serta takut pada Sultan Agung sehingga memutuskan untuk tidak kembali ke Mataram. Kemudian di Desa Cangkuang, beliau menyebarkan Agama Islam. Sebelum beliau mendatangi Desa Cangkuang, penduduk sekitar telah memeluk kepercayaan animisme, dinamisme dan Hindu. Pada akhirnya beliau memutuskan untuk menetap di Cangkuang tepatnya di Kampung Pulo sampai akhir hayatnya. Saat ini, makam beliau berdampingan dengan Candi Cangkuang.
Keunikan yang terdapat di Kampung Pulo adalah hanya terdapat 6 buah rumah dan sebuah masjid yang ditinggali oleh enam kepala keluarga. Keadaan seperti ini sudah sejak abad ke-17, tidak pernah bertambah maupun berkurang. Hal tersebut merupakan ketentuan adat. Masing-masing rumah serta masjid memiliki artinya tersendiri. Ketika Embah Dalem Arif Muhammad wafat, beliau meninggalkan 6 orang anak perempuan dan satu orang anak laki-laki. Oleh karena itu, karena alasan inilah di Kampung Pulo terdapat 6 buah rumah adat yang berjejer saling berhadapan masing-masing 3 buah rumah di kiri dan di kanan (sebagai penanda keenam anak perempuan beliau) serta ada sebuah mesjid di pintu depan (sebagai penanda anak laki-laki beliau). Penghuni Kampung Pulo tidak boleh lebih dari 6 kepala keluarga. Maka dari itu jika ada anak yang sudah menikah, maka paling lambat 2 minggu setelah itu harus keluar dari lingkungan keenam rumah tersebut. Rumah tersebut bisa ditempati oleh siapapun, baik itu ibu atau anaknya, hanya saja jumlahnya harus tetap yaitu 6 kepala keluarga saja. Kecuali, apabila ibu dan bapak yang menempati rumah tersebut meninggal dunia, anak yang sudah menempati rumah di tempat lain dapat kembali tinggal di Kampung Pulo untuk mengisi kekosongan itu. Sampai saat ini artikel di buat, Kampung Pulo ditempati oleh generasi kedelapan, kesembilan, dan kesepuluh yang merupakan turunan langsung dari almarhum Eyang Embah Dalem Arif Muhammad yang terdiri dari 23 orang diantaranya 10 perempuan dan 13 laki-laki. Mereka yang menempati Kampung Pulo bertujuan untuk menjaga kelestarian tradisi adat Kampung Pulo.
Keunikan lain yang terdapat di Kampung Pulo yaitu masyarakatnya menggunakan sistem kekerabatan matrilineal. Dengan kata lain, yang dapat menerima waris bukan laki-laki, melainkan perempuan. Yang berhak menguasai rumah-rumah adat adalah wanita dan diwariskan pula kepada anak perempuannya. Sedangkan bagi anak laki-laki yang sudah menikah harus meninggalkan kampung tersebut dalam 2 minggu. Hal tersebut disebabkan karena anak laki-laki satu-satunya meninggal dunia ketika hendak disunat. Anak laki-laki satu-satunya dari almarhum Eyang Embah Dalem Arif Muhammad itu kemudian menjadi pembelajaran dan asal usul adanya beberapa tradisi di kampung Pulo. Beberapa adat dan tradisi itu diantaranya menetapkan beberapa aturan soal atap rumah yaitu atap rumah harus memanjang (jolopong), tidak boleh menabuh gong besar, tidak diperkenankan untuk beternak binatang besar berkaki empat, tidak boleh datang ke makam keramat pada hari Rabu dan malam Rabu, tidak boleh menambah bangunan pokok, tidak boleh menambah kepala keluarga, dan tidak boleh mencari nafkah di luar wilayah desa. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, apabila masyarakat melanggarnya maka akan timbul malapetaka bagi masyarakat tersebut.
Alasan dari tidak diperbolehkannya menabuh gong besar karena ada kaitannya dengan anak eyang ketika beliau hendak menyunat anak beliau. Ketika anak laki-laki tersebut disunat, diadakan pesta besar. Acara tersebut dilengkapi dengan arak-arak sisingaan yang diiringi musik gamelan menggunakan gong besar. Namun, saat itu ada angin badai yang menimpa anak tersebut. Anak itu kemudian terjadtuh dari tandu sehingga menyebabkan ia meninggal dunia. Agar hal tersebut tidak terulang, maka menabuh gong besar merupakan sebuah larangan terutama oleh keturunan yang tinggal di Kampung Pulo.
Sedangkan, alasan dari tidak diperkenankannya beternak hewan besar berkaki seperti kambing, kerbau, dan sapi dikarenakan masyarakat Kampung Pulo mayoritas mencari nafkah dengan bertani dan berkebun, sehingga ditakutkan hewan tersebut merusak sawah juga kebun mereka. Namun, selain bertani dan berkebun kini ada juga masyarakat Kampung Pulo yang mencari nafkah dengan berjualan. Selain itu juga, di daerah desa tersebut banyak terdapat makam keramat sehingga ditakutkan hewan-hewan tersebut dapat mengotori makam. Walaupun begitu, masyarakat disana masih diperbolehkan memakan atau menyembelih hewan besar berkaki empat dan diperbolehkan juga untuk beternak asalkan tidak di daerah Kampung Pulo, melainkan di daerah lainnya.
Sementara alasan soal larangan ziarah pada hari Rabu dan malam Rabu dikarenakan pada masa agama Hindu, hari terbaik menyembah patung adalah pada hari rabu dan malam Rabu. Sementara masyarakat menyembah patung, almarhum Embah Dalem menggunakan hari tersebut untuk memperdalam ajaran agama Islam. Bahkan pada zaman dahulu, penduduk sekitar tidak diperkenankan bekerja berat. Begitu pula Embah Dalem Arif Muhammad pun tidak mau menerima tamu karena pada hari tersebut digunakan untuk mengajarkan agama. Menurut kepercayaan masyarakat, apabila masyarakat melanggarnya maka akan timbul malapetaka bagi masyarakat yang melanggar tersebut.
Kini, Kampung Pulo dipimpin oleh sesepuh adat yang juga biasa disebut kuncen. Kuncen mengantar tamu yang berziarah ke makam Eyang Embah Dalem Arif Muhammad. Pada intinya, kuncen memiliki tugas yang berhubungan dengan batu candi dan makam. Kuncen harus bisa meluruskan bahwa ziarah ke makam itu untuk mendoakan, dan bukan untuk meminta sesuatu.