Baru saja kita disuguhi sebuah fenomena aneh dari arena Piala Dunia 2014. Brasil sebagai sebuah tim adikuasa di kancah persepakbolaan mengalami dua kekalahan beruntun. Skor 1-7 dari Jerman di Semifinal, dan 0-3 dari Belanda di Play-Off tempat ke-3 menabur lumpur kotor untuk rekor Brasil di Piala Dunia yang biasanya cemerlang. Apalagi dua kekalahan telak itu terjadi di tanah Amazonia yang biasanya menjadi tempat angker bagi tim Eropa. Ribuan pertanyaan mungkin muncul di benak para penggemar sepakbola akan hasil yang sangat buruk bagi Brasil.
Porque, Brasil?...
Ya, mengapa Brasil tampil seburuk itu? Jawaban bisa bermacam-macam. Sepakbola Brasil memang mengalami kemunduran. Saat ini sepakbola Brasil mengalami krisis pemain berbakat, terutama sejak berakhir Piala Dunia 2006. Setelah generasi Ronaldo, Ronaldinho, Juninho, Roberto Carlos ataupun Cafu turun panggung, Selecao Brasil belum menemukan generasi pemain dengan kreatifitas tinggi yang sepadan. Harapan kepada Neymar Jr akhirnya menjadi boomerang karena beban berat seluruh tim hanya berpusat kepada satu pemain saja. Lagipula Neymar Jr adalah seorang striker, dimana untuk menjalankan peran maksimal tentunya memerlukan sosok midfielder tangguh serta kreatif. Rivaldo, Kaka ataupun Juninho Paulista ataupun Juninho Pernambucano menjalankan peran itu di Timnas Brazil generasi sebelumnya. Peran Oscar dan Hulk yang diharapkan memberi warna Selecao tak muncul sama sekali dalam pertandingan-pertandingan krusial di Piala Dunia, terutama di semifinal saat melawan Jerman.
Tetapi, sebab yang lebih utama adalah berasal dari krisis jati diri sepakbola Brasil. Memang, sudah cukup lama Selecao Brasil tidak lagi memainkan sepakbola identitas mereka yaitu Jogo Bonito atau bermain indah. Sebagai konsekuensi dari tempo permainan sepakbola modern yang semakin cepat, sepakbola Brasil saat ini diadaptasi mengikuti cara bermain tim Eropa yang lebih mengandalkan kekuatan fisik, kerjasama tim dan taktik permainan solid. Kreatifitas permainan individu dibuang jauh, karena sepakbola modern sangat mementingkan hasil akhir pertandingan untuk menarik uang dari para investor dan sponsor. Ini bisa dilihat di Champions League, sepakbola saat ini begitu berototnya. Klub – klub yang mendominasi panggung elit Liga Eropa adalah tim dengan permainan cepat dengan teamwork rigid. Bayern Muenchen, Borussia Dortmund dan yang terakhir Atletico Madrid bermain dengan gaya seperti itu sehingga mampu menembus babak-babak akhir kompetisi. Rival yang muncul adalah sepakbola negatif dengan menumpuk pemain di garis pertahanan untuk sesekali melepas serangan balik, untuk kemudian bertahan lagi hingga membuat lawan bosan. Dua gaya yang populer di kompetisi Eropa saat ini tentunya bukan tradisi yang dianut sepakbola Brasil. Sepakbola Brasil memang tidak tumbuh dari sepakbola otot nan skematis seperti sepakbola Jerman, ataupun sepakbola negatif bertahan total, juga bukan pula tiki-taka mendayu seperti Barcelona.
Sepakbola Brasil adalah sepakbola atraktif dengan tujuan penghiburan. Tetapi memang apa lacur karena kebanyakan pemain utama Brasil bermain di Eropa, mereka akhirnya terbiasa dengan permainan ala Eropa. Tak ada lagi pemain yang mampu berliuk patah seperti Mane Garrincha, menyisir lapangan dengan rajin seperti Jairzinho, bergerak tipu untuk kemudian menembak sasaran dari jarak jauh seperti Rivelino, Gerson dan Branco, ataupun yang bermain tempo dengan cerdik seperti Dunga, Toninho Cerezo dan Socratez. Brasil nan atraktif dengan umpan-umpan mengundang decak kagum sudah lama hilang. Mungkin terakhir kali tim dari Brasil bermain dengan ciri seperti itu sekitar tahun 1992-1993 saat Sao Paulo menjadi Juara di Toyota Cup. Saat itu Sao Paulo memang masih dilatih Tele Santana, seorang penganut sepakbola Samba sejati. Setelah pola lama dari pelatih semacam Tele Santana ataupun Claudio Coutinho ditanggalkan, Brasil memang masih beroleh tropi di Piala Dunia. Pada turnamen 1994 dan 2002, mereka mampu merebut gelar meskipun display permainan sudah begitu pragmatisnya. Tetapi, saat itu, Brasil masih punya pemain-pemain yang berpengalaman bermain dibawah pola lama semacam Romario, Bebeto, Denilson, Cafu, Dunga, Luis Muller ataupun Leonardo.
Corak gaya indah Brasil sudah sangat pudar terutama saat turnamen 2010 yang justru saat Selecao diarsiteki oleh Carlos Dunga, produk Samba masa lalu. Pada turnamen 2014 ini, Selecao rupanya belum sempat menemukan ciri mereka untuk bemain di era Millenium. Akibat perubahan tendensi sepakbola modern, pemain-pemain Brasil justru tenggelam dalam pola sepakbola Eropa yang lebih mementingkan kemenangan dalam suatu pertandingan, ketimbang bermain menghibur seperti para pendahulunya. Sebagaimana dikatakan oleh para pelatih Brasil yang sempat singgah di tanah air pada dekade 1990-an, sepakbola Brasil berprinsip menyerang, atraktif dan menghibur. Soal kalah atau menang sebenarnya hanyalah konsekuensi logis dari suatu permainan kompetitif. Tentunya jika tim bermain atraktif dan dapat menikmati permainan, kemenangan akan lebih mudah untuk diraih. Tetapi, Brasil telah memilih untuk menuliskan catatannya pada turnamen 2014, dengan harga mahal. Kekalahan telak di semifinal turnamen dunia menjadi tebusan dari hilangnya prinsip sepakbola Brasil. Hasil turnamen 2014 akan menjadi pekerjaan rumah yang teramat besar bagi kalangan sepakbola Brasil. Patut ditunggu untuk melihat reaksi para petinggi sepakbola Brasil dalam mengejar defisit dan hutang prestasi mereka saat ini di hingar-bingar persepakbolaan dunia yang makin materialistis.
Ilustrasi : Brasil2014.kompas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H