Pernahkah terpikirkan oleh Anda dampak yang akan dialami anak ketika pertanyaan ini diajukan setelah pulang dari sekolah? Mungkin pertanyaan tadi adalah pertanyaan template atau ditanyakan secara otomatis kepada anak yang baru pulang sekolah dan masuk ke dalam pintu mobil atau rumah. Namun ternyata, pertanyaan ini adalah sebuah bentuk stimulus yang diberikan oleh orang tua atau pengasuh kepada seorang anak. Walaupun ini adalah pertanyaan yang diberikan secara tidak sadar atau otomatis, ternyata ada dampak kepada perilaku seorang anak dalam memberikan respons terhadap stimulus yang diberikan. Dalam artikel ini, penulis akan membahas dan melihat pertanyaan ini dengan cara pandang psikologi Kristen yang mencakup teori psikologi dan juga Firman Tuhan.
Untuk dasar, ada beberapa kosakata yang perlu diketahui oleh para pembaca. Yang pertama adalah stimulus. Stimulus adalah sebuah hal eksternal yang terjadi sehingga berdampak kepada respon dari sebuah individu (Anon n.d.) Kemudian ada juga respon yang berarti, reaksi seseorang terhadap hal eksternal atau stimulus yang diterima. (Muhamad et al. 2019). Selain itu kita akan melihat beberapa kosakata mengenai memori, khususnya working memory. Maka sekarang kita bisa mulai mengupas mengapa pertanyaan tersebut bisa memberikan dampak kepada perilaku seorang anak.
Menurut Ivan Pavlov, perilaku manusia dapat dijelaskan melalui pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon. Ia menekankan bahwa respon yang dipelajari dapat terbentuk melalui asosiasi yang kuat antara stimulus yang baru dan yang ada sebelumnya. Dalam konteks pertanyaan "Belajar apa tadi di sekolah?", respon anak mungkin terkait dengan stimulus verbal yang mengingatkan mereka pada pengalaman belajar di sekolah. Dengan memberikan pertanyaan ini sebenarnya kita sedang melakukan classical conditioning yang ada dalam teori behaviorisme Pavlov kepada anak-anak. Menurut Haslinda dan Ikom 2019, classical conditioning merupakan metode pembelajaran yang secara natural menggunakan stimulus yang tepat untuk menerima respon yang diharapkan.
Dengan memberikan pertanyaan ini sebenarnya kita sebagai pengasuh sedang memberikan stimulus dan membangun perilaku dalam diri anak untuk mengingat kembali apa yang ia pelajari di sekolah. Jika melakukannya secara rutin, maka kita juga melakukan proses classical conditioning. Membuat anak punya kesadaran untuk bercerita sepulang sekolah saat masuk mobil atau rumah dan berbicara kepada pengasuh. Mereka bisa menceritakan hari mereka di sekolah tanpa perlu kita ingatkan lagi karena sudah menjadi kebiasaan.
Selain membangun kebiasaan dalam diri anak untuk bercerita, kita sedang membantu perkembangan kognitif mereka melalui sistem pengambilan memori. Memori sendiri adalah kapasitas kognitif seseorang untuk menyimpan pengalaman yang ia alami (Musdalifah 2019). Kejadian yang mereka hadapi selama di sekolah menjadi sebuah stimulus yang mereka terima dan rekam. Sensory memory adalah memori awal yang merekam setiap hal dengan jangka waktu yang singkat, kemudian diolah oleh otak untuk masuk ke dalam short-term memory (Rokan and Rambe 2021). Ada sebuah proses kognitif yang berjalan dalam otak mereka sehingga stimulus ini bisa menjadi rangsangan untuk anak kembali mengingat apa yang mereka lakukan selama di sekolah.
Maka dampak baik apakah yang dapat anda, sebagai pengasuh terima jika memberikan pertanyaan ini kepada anak? Menurut Juniarti 2018, cara agar kemampuan seorang anak dapat optimal, pengasuh dan lingkungan sekitar berperan besar untuk memberikan stimulus-stimulus yang tepat sesuai kebutuhan sang anak. Maka, sebagai pengasuh, kita sedang membantu anak menjadi lebih aktif dalam bercerita dan berkembang secara kognitif, social-emosional dan masih banyak lagi. Mereka dilatih secara memori dan juga bahasa, sehingga ada proses mereka berusaha menyampaikan apa yang diingat dan dipikirkan.
Mereka mungkin akan menyampaikan perasaan mereka saja seperti senang, sedih, atau kesal. Dari situ sebagai pengasuh kita bisa menggali lebih dalam lagi tentang apa yang terjadi dan membantu mereka kembali mengingat kejadian-kejadian yang terjadi sehingga mereka merasakan perasaan tersebut. Ini bisa disebut sebagai perkembangan social-emosional mereka. Perkembangan sosial berfokus kepada bagaimana seorang individu berinteraksi dengan orang lain,
sedangkan perkembangan emosi berfokus kepada bagaimana seorang individu menyampaikan dan mengelola perasaan yang ia rasakan baik melalui kata-kata atau perilaku (Penulis et al. 2023). Keterampilan ini penting untuk dimiliki oleh para anak usia dini. Karena keterampilan ini adalah dasar yang penting bagi anak untuk membentuk dan mengembangkan kemampuan sosial emosional mereka yang akan berdampak kepada diri mereka saat dewasa (Pendidikan et al. n.d.) Dari cara pandang Firman Tuhan, tentu menjadi tugas orang tua untuk mendidik anaknya. Mendidik seorang anak bukan hanya sekedar menjadi tanggung jawab orang tua, dalam sebuah rumah tangga, tetapi mandat yang Allah berikan secara langsung kepada para orang tua (Agama, Negeri, and Raya 2022). Dan di Alkitab juga tertulis jelas dalam kitab Ulangan 6 : 7, bahwa memang tugas orang tua untuk mendidik anaknya.
Kita juga mendapat kesempatan untuk mengajarkan moral kepada anak. Bercerita adalah metode yang efektif bagi pengasuh untuk menanamkan nilai moral kepada seorang anak karena dari situlah mereka bisa mendapatkan nilai-nilai moral yang tepat dan cinta mereka dapat tumbuh akan kebenaran (Aisyah n.d.) Kita dapat membantu anak jika respons yang mereka berikan ternyata berbeda dengan yang kita ekspektasikan. Mungkin harinya tidak menyenangkan yang menyebabkan sang anak untuk diam dan tidak berespon, tapi kiranya itu tidak menjadi halangan bagi kita untuk terus membantu sang anak membangun kebiasaan bercerita.
Daftar Pustaka: