Lihat ke Halaman Asli

fahmi karim

Suka jalan-jalan

Interupsi Ingatan

Diperbarui: 10 Januari 2025   14:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Kita selalu punya cara untuk, katakanlah, mencari tahu titik parah diri. Rasa penasaran, atau ragu, tidak cuma ke luar diri. Cermin perlu juga disangsikan. Orang-orang lebih suka menyebutnya introspeksi. Saya lebih suka menyebutnya interupsi.

Harari meramal saat manusia telah bertemu dengan zaman banjir informasi, pengetahuan telah terdistribusi melalui teknologi secara merata, tanpa kelas. Sambung Harari, manusia akan lebih bijaksana, apalagi saat mengambil keputusan. Kelebihan informasi berarti kelebihan pilihan. Kita memasuki era itu: desentralisasi informasi, masyarakat tanpa kelas informasi.

Hukum pasar berdiri di atas ketaksamaan. Bukan alamiah. Ini lebih karena perbedaan informasi yang digenggam. Tidak adanya informasi yang setara membuat harga pasar kejar-kejaran di antara pemasok, monopoli distributor, dan para pembeli yang kurang informasi. Ekonom mainstream menyebutnya invisible hand, sebuah nature dari pasar. Stiglitz menyebutnya asimetris informasi.

Lalu apa yang tayang sekarang di sebuah dunia yang terlipat ini? Kebijaksanaan dan kearifan hampir masuk museum. Sekarang di tahap masuk ruang diskusi dan ruang sekolah: cuma jadi bahan penelitian!

Kita perlu ingat, informasi juga bisa dimonopoli. Di masa Orde Baru, sumber-sumber bacaan dipilih tidak acak untuk dihanguskan, kalau perlu pakai sepatu, pentungan, atau senjata. Semua kanal untuk mendapatkan informasi digunting dan dibuat sambungan baru yang terhubung langsung dengan saluran rezim.

Kita mesti yakin bahwa banjir informasi yang datang di gawai dari buka mata sampai tutup mata telah lebih dulu dicuci seleranya. Bisa pemilik, bisa pendonor, bisa oleh pintu kebijakan negara. Tugas dari mereka hanyalah membentuk selera. Setelahnya terus dikejar dan dilayani sehingga kita semakin akrab, mesra, dan tidak mau lepas dari telepon genggam pintar dan sejawatnya. "Jadilah diri sendiri." Mungkin maksudnya, "Jadilah diri sendiri menurut selera orang."

Untuk itu, kita tidak kunjung menemukan kebijaksanaan dan kearifan di tengah orang-orang yang kebanjiran informasi. Sekian banyak telah bisa mengakses informasi dari mana saja justru semakin sedikit kita menemukannya dalam masyarakat; sudah jadi barang langka. Masyarakat semakin kacau. Coba saja lima menit main-main di media sosial, kekacauan-kekacauan sepele dan remeh berantrian.

Dulu kita menginginkan sebuah gagasan internasionalisme. Tiba satu patahan sejarah dimana satu kelompok kebudayaan ingin mendorong bangsa menjadi ide pokok negara. Kemerdekaan di negara-negara kecil pelan-pelan bangkit menjadi nation state. Semakin kesini, kelompok menjadi acuan pertarungan, sampai di level individu.

Di tengah-tengah keragaman masyarakat, berbagai kelompok saling rampas pengaruh. Anda boleh menyebutnya partai, boleh juga menyebutnya organisasi. Tentu saja, pengaruh ini menghasilkan power yang akan dipanen dalam bentuk dominasi ekonomi-politik. Di level atas terjadi perebutan yang bukan miliknya. Level bawah memperebutkan remah-remah sumber.

Hidup kita berada dalam suasana demikian. Tidak punya aturan namun tertata dalam keos algoritma sosial tertentu.  Di tengah hal-hal yang berantakan, tetap saja ada satu dua orang dan grup yang menolak patuh pada arus dengan terus menjaga agar pikiran tetap dalam kondisi prima.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline