Dua dokumen Amerika tahun 1776, Virginia Bill of Declaration dan Declaration of Independence, dipandang sebagai dokumen awal yang membahasakan hak-hak asasi manusia (human rights) ke dalam kalimat hukum. Dokumen sejarah Amerika ini konon jadi percikan api bagi dokumen hak-hak asasi manusia (HAM) setelahnya, misalnya seperti Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948.
Belakangan, Islam juga membuat formula sendiri mengenai HAM pada 19 September 1981 yang dikenal dengan nama Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia Islam (DUHAMIS) melalui Dewan Islam Eropa (Islamic Council for Europe). Mereka menganggap HAM yang asalnya dari peradaban Barat menekankan individualisme serta berporos pada sekularisme dan liberalisme Barat. Sebagai peradaban dan tradisi yang berbeda, Islam mesti mengajukan konsep HAM yang tidak meninggalkan nilai-nilai, terutama nilai Islam.
Konsep hak-hak asasi manusia adalah ide yang menaruh martabat manusia sebagai kondisi alami (the state of nature), bahkan menjadi kondisi mungkin kelahiran negara: negara muncul untuk memproteksinya habis-habisan. Keutamaan martabat manusia akarnya dari tradisi humanisme Kristiani, dikenal dengan istilah imago Dei (citra Allah). Teologi Kristen memberi dasar nilai intrinsik manusia.
Martabat manusia, dalam perkembangan etika, kembali dibuat rigid secara filosofis oleh filsuf modern seperti John Locke. Katanya 'hak-hak alamiah manusia'. Bagi Locke, kondisi alamiah manusia berupa kondisi kebebasan, kondisi kesetaraan, dan kondisi menghidupi hukum alami. Dari sini setiap orang dianjurkan oleh kewajiban alami untuk merawat baik state of nature berupa kebebasan dan kesetaraan.
Republikan seperti Hanna Arendt mengajukan banding ke konsep HAM pra-politis model liberal ini. Baginya, HAM pra-politis individual, yang terberi dan datang sebelum negara, faktanya tidak berlaku ke para pengungsi, atau mereka yang diusir dari negaranya. HAM tidak bisa bersandar pada individu, harusnya bersandar ke komunitas politik atau kehidupan bersama atau res publica melalui kemanusiaan bersama. Orang akan kehilangan HAM jika jauh dari komunitas politik -- seperti Robinson Crusoe yang mendarat di Pulau Keputusasaan, tidak perlu teriak HAM. Meski tetap saja disini corak pikir modern menjadi khas: pengandaian manusia dalam komunitas politik.
Kehidupan politik di atas tanah lengkung ini tidak cukup hanya dengan hidup bebas dan cara menentukan pilihan sendiri. Semua dari kita butuh pengakuan, politics of recognition. Misalnya tadi, kebebasan dan kesetaraan. Pelanggaran HAM yang terjadi dalam sejarah berpangkal di situ: tidak diakuinya hak sebagai manusia dengan martabatnya. Tapi kita juga perlu mengajukan pertanyaan, apa cukup hanya dengan diakui lalu kita bisa menikmati segala hal secara setara, misalnya dari negara, atau lebih spesifik model infrastruktur?
Beberapa bangku taman di Eropa didesain dengan ide anti-tunawisma. Macam-macam sebutan bagi desain yang melawan kemanusiaan ini. Misalnya arsitektur defensif, arsitektur yang bermusuhan, atau desain eksklusif. Memang semestinya taman didesain dan direncanakan dengan ide 'kemampuan semua orang untuk mengakses' dan menikmati fasilitas ruang publik.
Fokus ide pengakuan kepada setiap orang memuat pula kemampuan setiap orang untuk mengakses, sudah seharusnya include. Percuma saja kamu diakui tapi dalam hal-hal tertentu terhalang. Misalnya Anda diakui oleh konstitusi untuk berpendidikan tapi terhalang dengan biaya pendidikan.
Di film Snowpiercer (season 1) diperlihatkan kemarahan kelompok manusia di gerbong kereta paling belakang (ekor) kepada gerbong paling depan yang mengontrol kereta. Kemarahan ini dipicu perlakuan yang tidak manusiawi melalui makanan, pencahayaan, pemandangan, atau desain gerbong yang tidak layak disebut tempat tinggal. Para homo sacer ini meminta kesetaraan akses ke seluruh gerbong kereta. Puncaknya adalah revolusi rakyat dalam kereta dengan cara mengambil alih sistem dan mendesainnya secara terbuka bagi semua, terutama akses.
HAM tidak bisa hanya berputar di soal pengakuan keberadaan semata. Pengakuan ini mesti juga sama-sama dengan keterbukaan akses ruang publik, misalnya kemudahan, atau aksesibel.