Saat mulai mengakhiri tulisan ini, sambil-sambil mendengar lagu, secara acak Spotify menyodorkan lagu Semua Aku Dirayakan yang dinyanyikan Nadin Amizah. Bukan main syahdunya. Entah kenapa lagu-lagunya selalu enak di telinga.
Saat itu saya tiba-tiba sadar bahwa sejarah manusia adalah sejarah orang-orang patah lalu tumbuh. Sebagai insan retak dan sering patah, semua "Aku" mesti dirayakan: yang kalah, yang melawan, yang mulai, yang berakhir.
Menurut saya, karakter dingin yang dibangun melalui peran Dasiyah (Dian Sastrowardoyo) menggambarkan keseluruhan sifat film: sejarah hitam, kemarahan, perasaan, dan peristiwa 65' yang dipaksa diam. Manusia seperti sudah ditakdirkan bangkit dari kubur masing-masing, termasuk sejarah yang telah sesak dalam makam. Pesan ini diam-diam saya tangkap untuk menghargai hasrat yang terpendam dalam film.
Film besutan sutradara Kamila Andini dan Ifa Isfansyah ini diangkat dari novel Gadis Kretek karya Ratih Kumala. Memang pada umumnya, jika ingin melihat secara keseluruhan dari kisah harus membaca novelnya. Jika ingin menghemat waktu, nonton juga tidak apa.
Latar film di tahun 65'-70an. Zaman yang tergesa-gesa dan serba tidak pasti dan rapi. Karena latar film adalah kehidupan masa lalu dengan bau desanya, saat menonton mungkin Anda dipaksa untuk mengingat kejadian-kejadian masa anak-anak yang kini tinggal cerita. Lumayan, traveling kenangan.
Sudah lama saya mengetahui film ini. Namun saya tidak memutuskan untuk membaca novelnya, melainkan menunggu filmnya saja. Jika belum puas, tinggal mulai membaca.
Bukan apa-apa saja, pengalaman waktu nonton film Bumi Manusia, yang berangkat dari novel Pram dengan judul sama, banyak yang merasa kecewa karena banyak cerita tidak direkam. Maka untuk menghindari kecewa, saya mendahulukan film.
Saya tulis di WhatsApp Story beberapa hari lalu tentang film ini: Gadis Kretek; rasa yang tepat di waktu yang kacau; antara cinta sepihak, patriarki, dan PKI. Meski terlalu dini untuk mengatakan cinta sepihak. Maklum saja, waktu membuat cuitan, saya baru memasuki episode empat.
Memasuki episode terakhir, saya sedikit kecewa. Dugaan saya film ini seperti akhir film Love in the Time of Cholera yang berakhir dengan penyatuan kembali meski dilalui dengan jalan panjang menderita penantian. Mungkin karena setiap kisah romantis yang hidup di zaman pergolakan akan berakhir dengan tragedi.
Film ini pada dasarnya adalah upaya untuk menggambarkan kebisuan sejarah serta tradisi protes yang sering diabaikan, terutama posisi tubuh perempuan yang dianggap sebagai orang nomor dua, atau apa yang disebut Beauvoir sebagai The Second Sex. Narasi besar film dibalut dengan cerita-cerita haru di balik itu; kisah cinta, pengkhianatan, bisnis orang-orang kecil, serta tradisi mengekang.
The Second Sex adalah dia perempuan yang tidak punya "kehadiran", sebab mesti laki-laki dahulu yang memberikan makna kepada perempuan. Tugas laki-laki mencetak perempuan sebab perempuan tidak dilahirkan, tapi diproduksi. Beauvoir mengatakan "Perempuan dipenjara oleh kata perempuan." Inilah konstruksi kelam dan bermasalah yang dari dulu berkeliaran sebagai takdir norma yang abadi. Sampai sekarang masih dipakai untuk menjinakkan kreativitas dan kemerdekaan tubuh. Itu kenapa Dasiyah meronta. Baginya perempuan diharuskan tampil dalam sejarah. Tidak hanya menunggu nasib.