Lihat ke Halaman Asli

fahmi karim

Suka jalan-jalan

Ke Sangihe: Perjalanan Orang-orang Kalah

Diperbarui: 20 Januari 2020   19:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto: KOMPAS.COM/RONNY ADOLOF BUOL

Selalu ada cerita baru setip kali kita datang ke daerah yang belum pernah ditemui sebelumnya. Kemiskinan pengalaman bisa-bisa membuat kita seperti orang bodoh; layak kaki yang tak pernah menginjak tanah di luar pagar rumahnya; heran, terkesimak, plangak-plongok, sembari bersyukur dengan suara keras melihat indahnya situasi yang baru.

Sebelumnya saya belum pernah ke pulau Sangihe. Tapi kondisi sosial masyarakat di sana membuat perjumpaan baru ini terasa tidak asing dari pemaknaan; seperti desa pada umumnya.

Kali ini bukan agenda turisme; agenda yang datang memungut makna baru dari situasi alam yang masih asri, merasa sesak dengan kota dan ingin kembali di masa sebelum zaman kapitalisme, atau dalam agenda penaklukan seperti dalam sejarah. Bukan!

Agenda kali ini adalah penyaluran bantuan kepada korban banjir bandang yang melanda beberapa daerah di pulau Sangihe: desa Hiung, Banala, dan Lebo yang berada di kecamatan Manganitu, dan desa Ulung Peliang yang berada di kecamatan Tamako, kabupaten Kepulauan Sangihe, provinsi Sulawesi Utara.

Bisa dibilang kali ini adalah agenda kemanusiaan. Begitu umumnya orang-orang berkata.

Kami sepuluh perwakilan dari aliansi LSM dan organisasi mahasiswa. Sepuluh orang dari latar kehidupan yang berbeda. Rata-rata dari latar kehidupan kota -- dengan bayang-bayang kehidupan kota, gedung tinggi dan keramaian macet, berjumpa dengan situasi yang sunyi, hijau, dan warga yang ramah. Jika tidak kagetan, main foto sana-sini.

Dari gerak-gerik yang bisa saya tangkap, ada perasaan superior saat berada di kerumunan orang-orang desa. Orang dari kota ke desa merasa benar dengan pandangannya; kota adalah referensi kemajuan, orang-orang kota adalah representasi peradaban. Begitu kira-kira asumsinya. Di luar kota, adalah inferior.

Cara berpakaian, menyapa, bertutur, dialek, model gawai, merupakan ciri-ciri yang mewakili kemajuan zaman. Bagaimanapun cara berpakaian, bergaul, dsb., orang desa tetaplah orang desa. Meski perkembangan teknologi tidak lagi memberi batas-batas namun sisa kolonial masih tetap bersarang: prasaan superior-inferior, modern-tradisional (maju-statis), dan seterusnya, dan seterusnya...

Saya dasarnya dari desa merasa tidak ada yang baru dalam memaknai situasi baru ini. Meski sedikit "imajinasi borjuis" memberi penilaian dalam setiap perjumpaan. Maklum, lima tahun di kota juga berpengaruh dalam menilai situasi.

Misalnya, sepanjang perjalanan ke lokasi-lokasi bencana, sebelah kiri dan kanan jalan tanaman cengkih dan pala di mana-mana. Belum juga sumber ekonomi yang disediakan oleh laut. Bisa dibilang sumber pendapatan melimpah dari gunung sampai laut. Namun yang membuat heran konstruksi bangunan rumah di sepanjang perjalanan masih terlihat tidak representasi dengan melimpahnya kekayaan alam. Setidaknya setelah melakukan perbandingan di wilayah saya yang sumber daya alamnya tidak semelimpah di pulau Sangihe.

Ambivalensi Sikap

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline