Artikel ini akan mencoba berupaya membaca epistemologi Barat dengan kacamata epistemologi Islam berdasarkan keilmuan Mantiq dalam mendekati pengertian ilmu pengetahuan (science). Sains yang ditawarkan epistemologi Islam diketahui mengandalkan epistemologi rasional yang tidak diharuskan bergantung pada persepsi yang disebut Burhânî (demonstrasi). Sementara dalam epistemologi Barat khususnya yang diwakili oleh Immanuel Kant (1724-1804) dan Gottlob Frege (1848-1925), persepsi (wahrnehmung) dibedakan ke dalam dua jenis berdasarkan kemungkinannya dalam pengetahuan sebagai representasi mental (vorstellung); persepsi subjektif (empfindung) yang disebut sensasi (lima pencerapan indrawi) dan persepsi objektif (erkenntnis) yang disebut kognisi. Lebih lanjut kognisi itu sendiri dibagi menjadi dua bagian yaitu kognisi langsung tanpa perantara konsep yang disebut intuisi (anschauung) dan konsepsi (begriff) sebagai kognisi taklangsung yang memerlukan penalaran diskursif melalui konsep. Karena itu poin terpenting dari uraian ini adalah bahwa proses kognitif secara konseptual (tashawwurât) yang dalam epistemologi Islam dapat dinilai dengan putusan awwalî (elementārius) dan fithrî (innātus), dalam epistemologi Barat masih dapat disebut sebagai persepsi (al-musyâhadah) yang terarah terhadap fenomena. Dengan demikian yang disebut fenomena dalam epistemologi Barat (Kant-Frege) bukan hanya nampak dalam arti empiris (indrawi), melainkan juga nampak dalam arti rasional (akali).
Dalam ilmu Mantiq, kita mengenal bagaimana pengetahuan (al-idrâk) terbagi kepada konsepsi (Tashawwur) dan konfirmasi (Tashdîq) berdasarkan tergantung atau terlepasnya penilaian (benar-salah) yang menghukuminya. Tashawwur (penggambaran) adalah pengetahuan terhadap sesuatu yang tidak disertai penghakiman (benar-salah) apapun terhadap sesuatu tersebut (idrâk al-Syai’ ma‘a ‘adam al-Hukmi ‘alayhi), sedangkan Tashdîq (pembenaran) adalah pengetahuan terhadap sesuatu yang disertai penghakiman (benar-salah) baik secara negatif ataupun secara afirmatif (idrâk al-Syai’ ma‘a al-Hukmi ‘alayhi bi al-Nafy aw al-Itsbât). Karena itu para hukamâ’ (teosof Muslim) atau falâsifah (filsuf Muslim) meyakini bahwa mustahil ada tashdîq (konfirmasi) tanpa adanya tashawwur (konsepsi). Selama tidak adanya tashawwur, maka tashdîq pun tidak akan pernah ada.
Sementara itu dalam epistemologi Barat khususnya yang dibangun dari pemikiran Kant-Frege, kita mengenal bagaimana der Gedanke (pikiran) dibedakan dari das Denken (berpikir) sebagaimana begriff (konsepsi) dengan einbildung (imajinasi). Pembedaan ini dilakukan sebagai upaya untuk memisahkan kajian logika sebagai studi tentang makna itu sendiri, dari psikologi sebagai studi yang membahas beragam gejala mental termasuk irasionalitas yang dapat diperoleh dari proses berpikir (das Denken). Jadi dalam psikologi, rasionalitas dengan irasionalitas tidaklah dibedakan sebagai gejala atau properti mental. Sementara itu dalam logika, rasionalitas (meaningful) tidaklah semata-mata sama dengan irasionalitas (meaningless) sebagai gejala mental. Bahkan seperti yang akan kita temukan nanti bahwa rasionalitas tidak dapat disebut sebagai gejala mental. Oleh karena itu dari sudut pandang ini, epistemologi Barat (Kant-Frege) cenderung menguatkan kepekaan dalam membedakan antara konsepsi (tashawwur) dari imajinasi (takhayyul) secara logis sehingga pada akhirnya dapat memisahkan pula inteleksi (tafahhum) dari ilusi (tawahhum) secara psikologis.
Uraian ini akan membicarakan epistemologi Islam yang telah disediakan dalam ilmu Mantiq sebagai Dalîl Burhân (argumen demonstratif). Dalam ilmu Mantiq, demonstrasi atau apodiktika (al-Burhân) merupakan salah satu bagian dari lima keterampilan (seni) argumentasi yang dapat mempengaruhi secara psikologis (al-Shinâ‘ât al-Khams) selain dialektika (al-Jadal), retorika (al-Khithâbah), puitika (al-Syi‘r), dan sofistika (al-Mughâlathah). Sementara seni yang lima itu sendiri tercakup dalam pembagian bentuk-bentuk penyimpulan deduktif (al-aqyisah) berdasarkan objek material dari premis-premisnya, yaitu apakah premisnya dapat menghasilkan kebenaran yang sesuai dengan kenyataan (tafahhum dan tashawwur) atau tidak (taghallub, ta‘ajjub, takhayyul, dan tawahhum). Karena itu apodiktika (al-Burhân) yang dalam hal ini disebut sebagai argumen demonstratif (Dalîl Burhân) menurut epistemologi Islam tak dapat terlepas daripada keterampilan psikologis (al-shinâ‘ah) yang lima ini.
Dalîl Burhân berdasarkan objek formalnya (shûrî) telah dibahas di dalam Manthiq Tashawwurât (logika penggambaran atau pembentukan) yang menguraikan seluruh struktur konsepsi (terlepas dari nilai-kebenaran) mulai dari dalâlah [dâl–madlûl (penanda–petanda): wadh‘î (kontekstual), thabî‘î (natural), dan ‘aqlî (rasional)], dalâlah lafzhiyyah wadh‘iyyah [muthâbaqah (denotasi lengkap), tadhammun (denotasi rumpang), dan iltizâm (konotasi)], lafzh/alfâzh [mukhtash–musytarak (monosemi–polisemi) & mufrad–murakkab (simpel–kompleks)], nisbah [mafhûm (komprehensi) & mishdâq (ekstensi)], al-nisb al-arba‘ [al-tasâwî (singleton), al-tabâyun (disjoint), al-‘umûm wa al-khushûsh muthlaqan (subset), dan al-‘umûm wa al-khushûsh min wajhi (intersection)], hingga ta‘rîf [kulliyyah al-khamsah (hadd–rasm): nau‘ (macam), jins (jenis), fashl (diferensial), ‘aradh ‘âm (aksiden), dan ‘aradh khâsh (properti)].
Selain Manthiq Tashawwurât, Dalîl Burhân dari segi objek formalnya (shûrî) juga membahas Manthiq Tashdîqât (logika pembenaran atau penghakiman) yang menjelaskan seluruh struktur konfirmasi (bergantung pada nilai-kebenaran) mulai dari qadhiyyah [hamliyyah (maudhû‘ & mahmûl) & syarthiyyah (muqaddam & tâlî)], adât al-sûr [kammiyyah (kullî, juz’î, syakhshî, muhmal) & kayfiyyah (mûjibah-sâlibah)], hingga istidlâl [(hudûd al-tsalâtsah, muqaddimah, natîjah): qiyâs (iqtirânî–istitsnâ’î) & istiqrâ’ (tâm–nâqish)]. Secara keilmuan baik tashawwur (konsepsi) maupun tashdîq (konfirmasi), masing-masing dari keduanya diperinci ke dalam dua bagian pengetahuan; pengetahuan aksiomatis/apodiktik (badîhî/dharûrî: pengetahuan yang jelas dengan sendirinya) dan pengetahuan teoretis/spekulatif (nazharî: pengetahuan yang memerlukan penalaran).
Disamping objek formal atau representamen (shûrî), Dalîl Burhân juga dibahas dalam hubungannya dengan objek material atau referensial (mâdî) berdasarkan tingkat keyakinannya dalam suatu premis (muqaddimah) untuk menghasilkan kesimpulan (natîjah) yang meyakinkan. Pernyataan ini terbagi kepada delapan macam: pernyataan yang definitif (al-Yaqîniyyât), pernyataan yang prominen (al-Masyhûrât), pernyataan yang presumtif (al-Mazhnûnât), pernyataan yang estimatif (al-Wahmiyyât), pernyataan yang persuasif (al-Musallamât), pernyataan yang otoritatif (al-Maqbûlât), pernyataan yang ambigu (al-Musyabbihât), dan pernyataan yang metaforis (al-Mukhayyalât).
Adapun di antara delapan jenis pernyataan tersebut ada yang terikat pada pembuktian dan ada pula yang terlepas dari pembuktian. Pernyataan yang terlepas daripada pembuktian disebut sebagai “konfirmasi yakini apodiktik” (Tashdîqî Yaqîni Dharûrî) sehingga referensinya terhadap realitas dapat disebut sebagai mabâdi’ (norma), sedangkan pernyataan yang terikat pada pembuktian disebut sebagai “konfirmasi yakini spekulatif” (Tashdîqî Yaqîni Nazharî) sehingga referensinya terhadap realitas dapat disebut sebagai mawâdd (materi). Hubungan di antara keduanya adalah demikian bahwa konfirmasi apodiktik (dharûrî) merupakan basis atau dasar bagi konfirmasi spekulatif (nazharî) yang memerlukan penalaran lebih lanjut dalam pembuktiannya.
Konfirmasi Apodiktik dalam istilah Mantiq disebut dengan Ushûl al-Yaqîniyyât (prinsip-prinsip yakini) dan merupakan prinsip bagi seluruh pengetahuan manusia (al-idrâk). Putusan-putusan Yakini ini terbagi kepada enam macam: putusan elementer (al-Awwaliyyât), putusan observasional (al-Musyâhadât), putusan eksperimental (al-Mujarrabât), putusan intuitif (al-Hadsiyyât), putusan repetitif (al-Mutawâttirât), dan putusan innatif (al-Fithriyyât). Namun pembagian pernyataan berdasarkan objek referensial-nya yang akan dipaparkan berikut ini, secara keseluruhan tidak akan mengikuti standar yang telah diurutkan dalam buku-buku Mantiq konvensional, melainkan masing-masing disesuaikan dengan pasangannya secara intuitif agar dapat relevan dalam mendekati maksud dan pengertian ilmu pengetahuan (science) menurut epistemologi Barat (Kant-Frege).
I. Al-Awwaliyyât (الأوليات) & Al-Fithriyyât (الفطريات)