Manifesto berjudul The Great Replacement tampaknya menggetarkan. Tapi, karena isinya rasis, ditulis sengaja oleh teroris penembakan masjid di Christchurch, Selandia Baru, bernama Brenton Tarrant, Manifesto itu jadinya seperti pepesan kosong.
Delusinasinya, dia akan menjadi martir bagi ras kulit putih, dia juga akan meraih nobel perdamaian seperti pejuang anti Apartheid Nelson Mandela. Singkatnya dia bermimpi menjadi pahlawan dengan menyingkirkan musuh-musuhnya. Biar seluruh dunia tahu melalui kecanggihan teknologi live action yang bisa langsung viral di media sosial, di save, atau nantinya dibagi-bagi. Dia memang berhasil menjadi trending dunia dan the most wanted.
Momen yang dipilih adalah ketika orang sedang sholat di hari Jumat di Masjid Linwood Islamic Centre. Brenton Tarrant, memang bukan warga Selandia Baru, dia hanya orang Australia, tapi bisa leluasa masuk dan mendapatkan senjata dengan mudah. Dengan keyakinan militan akan Supremasi Kulit putih yang ditujukan untuk membenci kaum imigran (muslim)
Persamaan kesederajatan ras, akan memperoleh kesejahteraan malah mungkin membuatnya terpinggirkan.
Brenton Tarrant, memang sudah ditangkap. Bahkan langsung disidang dengan tuntutan hukuman maksimal. Dia, memang merasa harus melakukan, bukan sekedar iseng. Sepertinya entah oleh siapa, dia ter- cuci otak sehingga mau dan bangga menjadi TERORIS.
Mari merenung, bibit-bibit teroris itu bisa saja di sekitar kita. Bahkan virusnya bisa hanya berawal dari sebuah kekecewaan yang kemudian ditumpuk. Dan, sepertinya sejarah hidup seorang Teroris, hampir semuanya mirip.
- Berawal, kekecewaan mendalam
- Kemudian, entah bagaimana direkrut komunitas ekstrim.
- Diberikan cuci otak bahwa dia punya panggilan hidup sebagai pahlawan dunia. Tapi dia harus melakukan hal paling ekstrim, yaitu berkorban atau menghabisi nyawa orang lain
- Aksinya harus terkenal diketahui banyak orang. Agar, peristiwa itu diingat orang.
Dalam piramida Maslow, teroris akan melompati kebutuhan dasar manusia semacam sandang-pangan-papan menjadi kebutuhan eksistensi diri dengan diakui sebagai pahlawan pada versinya sendiri. Teroris yang berkedok agama mungkin khas dijanjikan surga instant, nah mungkin si Brant ini, malah kebalikannya iri hati berlebihan, maka ingin supremasi rasnya yang diakui.
Yang pasti, terorisme adalah kejahatan kemanusiaan. Tidak ada ajaran hukum apapun yang membenarkan. Ya, kecuali yang punya manifesto sendiri seperti Brant, mungkin surganya sendiri. Sesaat, tapi dia masih hidup di dunia nyata. Dimana hukum delusinasinya tak berlaku.
Apresiasi kepada kecepatan aparat hukum Selandia Baru, yang tegas memprosesnya. Hukum seberat-beratnya.
Tak lupa, bibit teroris itu menyebar dalam emosi "balas dendam". Jadi, tak perlu menyebar-nyebarkan lagi video rekamannya. Yang urgent justru semangat kebersamaan. Agar iklan terorisme mereka tak berlanjut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H