Hasil laga pertama piala AFF 2018, timnas Indonesia 0-1 melawan Singapura kemarin adalah pelajaran berharga. Jelas sekali jika diperbandingkan saat timnas U23 di Asian Games GBK ngototnya beda. Padahal hanya beda pelatih saja. Formasi sama, pemain andalannya juga sama kecuali hanya pelapis pengganti saja.
Permainan under-perform dan emosional.
Hasilnya kalah bahkan dihadiahi kartu merah untuk Putu Gede yang frustasi mengatasi serangan-serangan timnas Singapura. Padahal sebenarnya permainan Singapura biasa saja tak istimewa. Goal kemenangannya juga tak lebih dari lepasnya Harris Harun dari pengawasan kemudian berhasil menyambar bola liar hasil kemelut di gawang Indonesia.
Memang sih Singapura mewaspadai betul tipe serangan gelandang dan striker pemain Indonesia. Tapi sekelas pemain Evan Dimas, Stefano Lilipaly, Irfan Jaya, dst harusnya tak masalah. Siapapun yang melewati garis tengah selalu bingung tak mendapat kawan lalu memaksakan maju. Maju ke tengah langsung patah, maju dari sayap tidak ada yang siap diumpan di kotak pinalti.
Serobotan Lilipaly yang spartan tak ada gunanya jika sendirian. Apalagi lagi diserang balik Singapura, andai bukan Andri Tany yang menjadi kiper boleh jadi Singapuralah yang berpesta goal.
Jadi Indonesia sebenarnya hebat karena dalam kondisi formasi amburadul skill pemain-pemainnyalah yang mempertahakan point kebobolan tak bertambah. Sebaliknya, Singapura juga tak spesial dalam permainan hanya mereka berhasil membuat Indonesia yang frustasi sendiri.
Dugaan saya, Indonesia di awal permainan Indonesia terlalu over percaya diri, bahkan cenderung meremehkan Singapura. Salah fokus, dan terlambat menyadari strategi lawan. Atau, terburu-buru ingin menyerang dan mencetak goal. Maka, banyak aksi individual dibandingkan aksi kerjasama satu dua pemain menggiring bola kedepan. Kreatifitas hilang dan bisanya membawa bola kedepan untuk dipatahkan lawan kembali.
Setting serangan harus ditata ulang kembali, misal jika Irfan Jaya meluncur ke depan siapa yang siap diumpan dan di posisi mana. Jika Lilipaly sedang melabrak ke depan siapa yang melapisnya. Sehingga jika pun serangan patah tetap bergelombang berkelanjutan.
Di kartu merahnya Putu Gede pun adalah puncak gunung es masalah-masalah kerja sama timnas. Bek harus berani melabrak juga namun ini kan upaya terakhir, karena tak ada jalan lain, dan bisa jadi dia tak percaya kawan-kawanya lain bisa menjaga bola lawan agar tak disambar menjadi goal.
Toh jika menit-menit terakhir pressing serangan terjaga, pertahanan terbaik itu ya terus menyerang.
Selanjutnya melawan Timor Leste besok adalah ajang perbaikan komunikasi agar permainan lebih greget lagi. Bima Sakti dan Hansamu Yama sang kapten sudah bersikap ksatria dengan mengakui kekurangannya. Sikap yang baik untuk segera fokus melakukan perbaikan dan bukan sibuk mencari kambing hitam.
Besok pasti menang Garuda !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H