Lihat ke Halaman Asli

Erosi Kultural Bromo Tengger Semeru

Diperbarui: 8 Agustus 2015   09:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Malang – Bromo merupakan salah satu daya tarik atraktif yang di miliki oleh Provinsi Jawa Timur. Saking atraktif-nya Bromo dapat mengundang  1500 orang kala libur anak sekolah dan lebaran. Hal ini tentunya menjadi berkah bagi para penduduk sekita, pendapatan naik, warung ramai, jip –jip ramai di sewa. Tapi apakah deretan “berkah“ tersebut merupakan berkah dalah arti kata sesunggunya.

Gunung Bromo adalah bagian dari sekian gunung yang terdapat dalam gugusan gunung di bawah otoritas Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Terletak pada wilayah administratif Kabupaten PasuruanKabupaten MalangKabupaten Lumajang dan Kabupaten Probolinggo tentu akan membuat imajinasi anda akan melayang membayangkan masif nya luas taman nasional ini. Tapi hey. kita tidak akan bicara soal tinggi, luas, atau flora dan hewan-hewan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

Lumrah gunung di Indonesia mengandung sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah ruah. Dalam sekitaran gunung itu terangkai hubungan antara alam dan manusia. Bagi manusia-manusia ini, alam lazim disebut sebagai alamat kebudayaan. Adalah alam yang menjadi guru dan sumber inspirasi budaya serta hukum-hukum adat mereka.

Karena alam adalah guru dan inspirasi maka pada umumnya budaya dan hukum mereka melindungi keberadaan alam, jangan sampai ada yang coba-coba mengusik sang guru. Pun hal yang sama berlaku pula bagi masyarakat suku Tengger yang berada di lingkungan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Hutan bagi masyarakat ini adalah alamat kebudayaan. Hutan menjadi inspirasi bagi mereka menjalankan agama, budaya dan kehidupan sehari-hari. Tanpa adanya hutan maka tidak akan pernah ada suku Tengger. Kira-kira begitu.

Namun makin hari makin kesini, budaya semakin terkikis, terkikis oleh budaya luar bernama pariwisata. Masyarakat Tengger yang semula adalah petani dan penggarap tanah sendiri berubah jadi supir mobil jip, tukang sewa kuda, dan penjual warung. Tanah (alam) tidak lagi mereka garap sendiri yang dalam kebudayaan Tengger adalah penghormatan terhadap alam dan leluhur, bahkan dalam beberapa kasus yang paling ekstrim tanah tersebut mereka jual ke orang luar (bukan orang Tengger). Padahal menjual tanah ke- selain orang Tengger adalah perbuatan yang dilarang oleh hukum adat. Hal ini menyebabkan pekerjaan sebagai dukun Tengger punah karena tanah tersebut tidak dapat di berkati lagi oleh para dukun. Serius.

Begitupun terjadi dengan hutan di sekitaran pemukiman suku Tengger. Hutan sudah di pagari oleh batas-batas atas nama konservasi dan perlindungan flora dan hewan. Ini lucu. Suku Tengger sudah sedari nenek moyang melindungi hutan beserta isinya !. Aturan-aturan kita selama ini hanya melindungi sumber daya alam-nya saja dan bukan sumber daya manusianya (budaya) padalah budaya lebih dulu melindungi sumber daya alam tersebut. Karena pendekatan aturan ini adalah perlindungan, suku Tengger sang pelindung hutan justeru dilarang memasuki hutan karena menurut aturan mereka termasuk yang bukan bagian dari hutan alias ancaman. Ironis.

Inilah erosi kultural yang kita buat sendiri atas nama pemerataan pembangunan, kapitalisasi dan pariwisata. Ada baiknya kita berpikir ulang bagaimana cara kita mengelola alam dan kebudayaan kita. Kehilangan identitas kebudayaan adalah sesuatu yang kita tidak inginkan bukan?.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline