#By Fits Radjah#Jalanan mulai lengang, jam menunjukkan hampir pukul 01 dini hari. Walau dengan sedikit agak terkantuk-kantuk, karena telah bekerja sejak jam 9 malam dan yang akan berakhir pada jam 4 dini hari; dengan sabar dan telaten perempuan "itu" melayani para tamunya, yang walaupun hari telah berganti namun "kecerewetan" tamunya tidak berkurang. Perempuan "itu" LUAR BIASA PEKASA dan adalah perempuan "baik-baik". Berbagai tingkah pola, ada yang meminta ditambahkan gula karena kopinya kurang manis, ada yang minta dibuatkan mie instan goreng, ada juga yang mengomel karena pesanannya belum juga disajikan, tidak lupa ada juag yang secara tersirat untuk mencoba menggodanya, dsbnya.
Inilah sekelumit romansa malam yang selalu dinikmati perempuan "itu", sepanjang lebih dari 20 tahun, dengan setia dan hanya absen seminggu di setiap Hari Raya / tahunnya; (hmmm loyalitas profesionalisme yang sangat tinggi!). Alasan utamanya: Demi anaknya yang berjumlah 6 orang agar mereka semua bisa bersekolah minimal sampai lulus SMA. Dan ternyata, pengorbanannya ini tidak sia-sia nampaknya, kini tinggal anaknya yang paling bungsu yang masih sedang menempuh kelas 11 di SMK, lainya sudah tamat, ada yang sudah bekerja, ada yang sudah berumah tangga sendiri; (hmmm...jadi minimal kurang 1 tahun lagi untuk "pensiun"....).
Tapi.... kata pensiun kiranya tidak ada dalam kamus hidup perempuan "itu". "Nggak mungkin saya akan berhenti berjualan, kecuali sudah tidak ada lagi pembeli yang mau mampir ke warung saya", katanya. Inilah sumber penghasilan utama keluarga saya! Kalau nggak jualan terus mau makan apa?! Lha, .... suami ibu, kemana dan ngapain aja?
Oh, dulu sekali kami bersama-sama saling bahu membahu untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami. Dulu dia adalah montir mobil. Tapi ..., dia cuma montir "jaman dulu" yang kalah bersaing dengan montir-montir muda yang mempunyai jaringan luas disamping tingkat ketrampilan mereka yang plus plus. Suami saya sudah "menyerah" dan kalah, karena terlalu lama tidak ada yang menggunakan jasanya. Sekarang dia membantu saya di warung ini, lebih tepatnya menemani saya, karena toh hampir semua kegiatan di warung ini saya sendirilah yang mengerjakannya, baik itu dari mulai mempersiapkan, membuat, dan melayani para tamu. Biasanya suami saya yang menemani para tamu, itupun kalau dia masih belum mengantuk.
Bahagiakah perempuan "itu"? Sebagai ibu dari anak-anak, ya, saya bahagia sudah bisa menyekolahkan anak, walau cuma sampai jenjang SMA. Sebagai perempuan, hmmm... saya ini "produk" perempaun jaman dulu yang pendidikannya sangat terbatas (lulus SD), tidak mengenal Keluarag Berencana. Saya tidak menyesal, namun memang punya anak banyak itu melelahkan, menguras banyak energi. Pertahanan saya hanya karena CINTA pada anak-anak, dan kekuatan Cinta saya itu sepenuhnya "ditopang" oleh Kekuatan Gusti Allah!; Saya tidak ingin mereka "mengulangi" apa yang sementara ini saya lakoni, terutama sekali bagi ke-2 anak putri saya. Saya berharap dengan bersekolah mereka mampu melihat ada "dunia lain" di luar apa yang mereka liat dan rasakan dalam keluarga kami. Saya ingin mereka bisa menimbang dengan bijak sebelum memutuskan / menentukan pilihan dalam hidup mereka. Saya pikir itulah kegembiraan hakiki saya sebagai Ibu, ketika melihat anak-anaknya hidup senang.
Saya sudah pasrah dalam melakoni hidup saya sekarang ini. Dulu sempat mencoba untuk mencari "bantuan" melalui pemerintah, non pemerintah. Tapi, akses buat saya ternyata tertutup. Mau ikut 'Jalur resmi' persyaratannya tidak mampu kami penuhi karena kami adalah kaum urban kota yang diperparah dengan tidak tercatat secara resmi dalam daftar kependudukan setempat. Jalur non pemerintah?, yang perhatian pada kami ternyata justru organisasi yang "lain" dari kami. Sebenarnya saya sendiri nggak masalah karena saya sudah diyakinkan bahwa mereka membantu atas dasar kemanusian yang sederajat bukan karena label keyakinan mereka, tapi suami nggak setuju karena masih curiga, jadi dengan malu dan terpaksa bantuan itu saya tolak; Disisi lain, walaupun pada kenyataannya sayalah pencari nafkah utama keluarga, namun saya tidak punya hak dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan keluarga. Jadi... dari dulu usaha warung saya ini ya tetap seperti ini, berjualan kopi dan gorengan. Kemajuannya, ya 5 orang anak saya sudah tamat SMA, itu saja, katanya sambil tersenyum.
Kalaupun belakangan ini ada tambahan seperti dengan menyediakan mie instant (rebus & goreng), nasi pecel, itupun karena mendapat "bantuan" tambahan modal dari salah seorang pelanggan setia warung saya tanpa saya harus mengembalikan karena bukan merupakan pinjaman, malainkan "hadiah Hari Raya" darinya.
Terserah akan dibilang seperti apa, hanya Gusti Allah yang tahu apa yang saya kerjakan. Saya ikhlas dengan jalan hidup saya. Saya bersyukur karena masih diberi kesehatan sehingga mampu bekerja, ditengah waktu istirahat yang begitu sedikit karena pada siang hari sayapun masih harus mengerjakan seluruh pekerjaan domestik rumah tangga saya, ya memasak, mencuci, dll. Memang terkadang putri bungsu saya ikut membantu, tapi saya ingin dia fokus pada sekolahnya.......
Perempuan "itu", perempuan dengan hati besar. Berkorban untuk keluarga (anak-anaknya); Menafikan kesenangan pribadi di titik nol. Dan ternyata, perempuan "itu" TIDAK SENDIRI; ada banyak perempuan-perempuan lain sepertinya lagi yang berjuang tanpa pamrih dalam keheningan malam nan bisu demi orang lain di negeri ini. "Yatim-Piatu"kah mereka? Dimanakah "orang-tua"mereka? Adakah "sahabat" bagi mereka......; bagi perempuan "itu"?
(Terinspirasi oleh Kisah Nyata Bu HSM, seorang penjual "Wedang Kopi & Gorengan" di salah satu sudut di Kota Malang).[FCR/010610]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H