Lihat ke Halaman Asli

Eksistensi Ranking di Rapot, antara Tiada dan Ada

Diperbarui: 26 Desember 2022   11:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Eksistensi Ranking di Rapot, antara Tiada dan Ada

Di pagi yang cerah, saatnya pembagian rapot semesteran. Sebagai Wali kelas, dari pagi sudah menyiapkan rapot yang sudah siap untuk dibagikan. Orang tua siswa sudah bersiap menerima rapot putra-putrinya.

Selamat pagi bu guru, sehat bu guru? bagaimana nilai rapot anak saya? bagaimana anak saya saat belajar di kelas? dan pertanyaan yang tidak pernah tertinggal, Berapa ranking anak saya bu?

Ranking kelas adalah data siswa yang menjelaskan urutan keberadaan mereka berdasarkan jumlah nilai yang tertera pada rapor, ranking dapat mendeskripsikan tingkat prestasi siswa berada di posisi mana jika dibandingkan dengan siswa lain pada kelas yang sama.

Seperti yang semua orang tahu bahwa mulai kurikulum 2013 di rapot sudah tidak tertulis ranking. Hal ini dikarenakan sistem pendidikan ingin menunjukkan bahwa setiap anak istimewa, tidak perlu dibanding-bandingkan dengan temannya yang lain. Asalkan siswa sudah bisa mencapai nilai KKM (kriteria ketuntasan minimal) maka siswa dianggap sudah tuntas belajar. Jadi ya sesimple itu saja tuntutan setiap siswa dalam setiap pelajaran. Misalkan ada siswa yang kurang berminat pada salah satu mata pelajaran, ya tidak apa-apa yang penting sudah mencapai KKM yg ditentukan oleh satuan pendidikan. Dan diharapkan siswa tersebut akan tertarik dengan mata pelajaran yang lain sehingga mendapatkan nilai mata pelajaran yang disukai di atas KKM. Sehingga tidak perlu ada ranking karena setiap siswa dianggap punya bakat masing-masing. Kalau ranking di rapot biasanya identik total nilai dari semua mata pelajaran yang diberikan dan kurang mampu menunjukkan bakat masing-masing siswa.

Sebenarnya tujuan pendidikan bagus yaitu di rapot tanpa ranking agar siswa bisa menunjukkan kompetensinya masing-masing, dan mereka tidak perlu dibandingkan kemampuannya dengan teman sekelasnya karena masing-masing punya kelebihan sendiri-sendiri.

Mungkin ada yang setuju ada juga yang tidak, bagi siswa yang daya kompetensinya tinggi pastinya dia ingin menunjukkan rankingnya di kelas dan hal ini yang memacu dia untuk rajin belajar. Sedangkan bagi siswa yang daya kompetensinya rendah, dia tidak akan begitu mempermasalahkan ranking.

Apabila kita melihat praktek di dunia pendidikan, sebenarnya ranking tetap saja dibutuhkan, sebagai contohnya yaitu dalam menentukan SNBP (Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi) untuk masuk perguruan tinggi negeri berdasarkan nilai rapot, nilai yang dipakai adalah nilai rapot dari semester 1 sampai 5, yaitu nilai rapot yang sudah diranking tingkat sekolah. Kemudian jumlah siswa yang masuk dalam pemeringkatan sesuai dengan ketentuan kuota akreditasi sekolah. Jadi apabila seorang siswa rankingnya rendah otomatis tidak bisa mengikuti seleksi tersebut.

Membahas tentang ranking, seharusnya siswa membiasakan diri untuk menghadapi peringkat dalam kehidupan nyata. Mereka harus siap berkompetensi. Apabila mereka mengikuti seleksi masuk universitas, yang diterima pastinya yang ranking atas. Kemudian seleksi melamar kerja, ada tesnya dan dipilih yang peringkat tertinggi.

Jadi siswa harus paham walaupun di sekolah tidak menuliskan ranking di rapot, dia harus tetap punya jiwa kompetensi yang tinggi. Karena dalam kehidupan nyata, mereka selalu dihadapkan dengan peringkat kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline