Lihat ke Halaman Asli

"Mengapa?"

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

http://www.antarafoto.com/ramadhan/v1345301782/pukul-bedug-takbiran

Malam ini, semua orang bersorak gembira. Anak anak membawa obor dan para laki-laki sebayaku menabuh beduk dan galon seraya mengumandangkan takbiran. Ramai dan meriah. Sebagian remaja berboncengan dengan pacar-pacar mereka mengikuti iring-iringan para petugas takbir keliling dadakan itu. Atau para ibu-ibu yang sudah tak peduli lagi dengan urusan dapur mereka karena sudah selesai masak di sore harinya. Aku berdiri di persimpangan jalan, lebih tepatnya simpang tiga, di depan rumah. Iringan-iringan itu kembali berbalik arah menuju ke tengah desa karena rumahku berada di ujung desa. Banyak yang menyapa, sebagian besar dari mereka mengajakku untuk ikut dengan keramaian itu. Tapi aku tahu itu hanya sekedar basa-basi. Aku hanya menyeringai tipis, senyumku begitu palsu_agak terpaksa.

“iya, nanti saya menyusul..” jawabku. Kalimat itulah yang selalu keluar dari bibirku ketika mereka dengan basa basi mengajakku untuk ikut rombongan. Kalimat yang membosankan !

Iringan-iringan yang tak bisa dibilang pendek itu sudah berada di ujung belokan yang ada di ujung sekolah. Aku memutuskan untuk kembali ke laman, tempat dimana aku selalu menghabiskan waktu sendiri di malam yang cerah sambil memandang bintang gemintang. Bintang utara ! bintang itulah yang akhir-akhir ini yang selalu ku cari dalam peta terbentang itu. Konon katanya rasi bintang itu adalah peta bagi pengembara gurun pasir, penunjuk arah bagi pelaut di samudra nan luas, dan penyentuh para pencari makna kehidupan.

Tapi malam ini tidak sesederhana seperti yang kulakukan seperti biasanya. Malam ini aku begitu kalut dengan setiap pertanyaan “mengapa?” dalam hidupku.

“Ah tidak, ini pasti gara-gara aku membaca novel itu.” Aku menghela nafasku, panjang.

Ya, novel yang ku pinjam dari seorang teman dekatku. Kemarin aku memintanya untuk memilihkan salah satu novel diantara banyak jejeran novel-novel miliknya.

“Pilihkan untukku satu novel yang patut ku baca.” Pintaku kepada Tiara.

Jari-jari ringkihnya dengan gesitmencari-cari sebuah novel, novel yang sudah dikiranya pasti cocok untukku. Dengan tangkas ia mencabut sebuah novel diantara jejeran novel-novel lainnya. Tampak sangat tebal dengan judul yang cukup membosankan.

Rembulan Tenggelam di Wajahmu”. Aku manut-manut seraya menganggukan kepala.

“Baiklah, aku pinjam yang ini“. Tanpa membaca resensinya, aku dengan segera memasukkan novel itu ke dalam tas dengan harapan novel itu bisa menjadi pelepas penat libur panjangku.

Benar saja, novel itu tak seperti yang kuduga. Isinya penuh makna.

Malam ini langit sangat cerah. Tapi hatiku begitu gelap sama gelapnya dengan langit yang cerah itu. Bukankah langit selalu gelap dimalam hari lay? Hahaha

Hampir setiap saat aku selalu dirundung beberapa pertanyaan mendasar dalam hidupku. Dan semuanya di awali dengan kata “mengapa?”.

“Mengapa aku tidak terlahir sebagai laki-laki saja?”1.

Pertanyaan ini, ah tak tahulah kawan. Aku benar-benar belum patut dibilang manusia yang bersyukur. Mana mungkin aku bisa menyesali kodratku sebagai wanita.

Entah mengapa aku selalu merasa menjadi wanita adalah penghalang dalam mencapai semua impianku.

Aku selalu bilang “Coba saja aku terlahir sebagai laki-laki, aku akan menjadi backpacker, hidup bebas tanpa perlu memikirkan masalah menjaga kesucian”. Menurutku, bebas itu laki-laki.

“Mengapa keberuntungan tidak pernah berpihak padaku?”2. Pertanyaan ini membuatku sangat membenci orang yang selalu bergantung dengan keberuntungan yang memuakkan itu.

Mengapa aku tak masuk universitas terbaik di negeri ini padahal aku sudah mati-matian berjuang?”4. Bila di bilang usahaku kurang, omong kosong. Bagaimana bisa kau sudah bergadang sepanjang malam menjelang tes namun belum juga dibilang usaha. Bahkan mereka, guru-guruku meyakinkanku bahwa aku bisa. Tapi sayang, semuanya omong kosong. Dan mengapa pula nasib mempermainkanku. Hampir semua teman di sekolah membicarakan kabar bahwa aku lulus seleksi. Ah, ini sungguh memepermalukanku. Aku benar-benar dipermainkan nasib saat itu ! tahukah kalian, aku menangis di pojokan kelas saat itu lay.. Sejak itu aku mulai memungkiri apa yang dibilang orang akan kebesaran tuhan. Sejak itu, aku sempat meninggalkanNYA. Bukan hanya karena masalah ini saja lay, sebenarnya ini adalah puncak kemarahanku pada nasib dan keberuntungan.

“Mengapa aku tak seperti yang lain?”5

Terkadang impian seseorang hanya sederhana saja. Begitupun dengan keinginanku. Aku iri dengan wanita-wanita sebayaku yang dengan santai bercanda, bermain, dan bahkan bergandengan tangan dengan pasangannya tanpa haruspeduli dengan masalah moral dan etika. Aku iri mengapa aku tak bisa berlaku alay seperti wanita-wanita lainnya. Aku iri mengapa pola pikirku terlalu rumit bagi orang lain. Kata mereka jalan pikiranku ketinggian. Namun ketika aku mencoba untuk berpikir sama seperti mereka, malah mereka menganggapku layaknya orang yang tak berguna. Sialan ! aku benar-benar membenci mereka dan juga diriku. Aku benci diriku yang berbeda dari yang lain.

Petanyaan-pertanyaan itu kembali memenuhi otakku, sejak tadi aku tak bisa tenang memikirkannya. Apa lagi malam ini malam hari raya. Sama persis dengan Rehan (tokoh utama dalam novel tadi) yang mengutuki hidupnya di setiap malam hari raya.

Malam hari raya, selalu sama. Tak pernah berubah bagiku. Berisik !

Dan sekarang aku menanti apa jawaban dari setiap pertanyaan mendasar dalam hidupku.

18 agustus 2012 ( 30 ramadhan 1433 H)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline