Pendahuluan
Barangkali publik masih belum lupa betapa tragisnya kematian si Boy dari sinetron Anak Jalanan yang mati tiba-tiba karena kecelakaan. Beberapa fans si Boy di dunia nyata merasa bahwa episode tersebut sangat buruk, tidak masuk akal dan menyakitkan. Bahkan ada sebuah video yang cukup viral pasca "kematian" si Boy ini, yang menunjukkan tangisan dalam dari seorang ibu dan anaknya yang sedang menonton episode kematian si Boy.
Menanggapi hal tersebut, beberapa pihak yang anti sinetron sudah jelas menyindir atau bahkan terang-terangan mencaci, sementara yang pro tentu tidak terima jika seleranya dihina. Menangisi kematian seorang tokoh sinetron, bagi sebagian orang, adalah berlebihan. Bahkan beberapa pihak cenderung menyalahkan sinetron dan beropini bahwa sinetron adalah pembodohan.
Apa yang saya sampaikan di atas adalah cerminan televisi Indonesia. Meski pihak yang anti sinetron dan acara "pembodohan" lainnya, kenyataannya, AC Nielsen tidak berpendapat demikian. Acara-acara yang banyak digemari dan dianggap memiliki rating yang tinggi adalah acara-acara tersebut. Maka tidak heran jika sampai saat ini, sinetron baru masih tetap bermunculan, menampilkan selebriti muda yang masih harum dan cantik-cantik dengan sutradara yang menakdirkan adegan-adegan klise. Lantas bagaimana dengan sinetron lama? Masih ada, dengan episode yang mencapai ratusan atau ribuan dan penggemar yang mencapai jutaan. Kalau tamat? Tinggal melakukan duplikasi konten agar tayangan baru dapat mengikuti jejak kesuksesan tayangan lama, dan tentunya pertelevisian tidak akan pernah mengalami regenerasi jika hal ini terus berlanjut.
Sebenarnya, bukan berarti tidak ada pihak yang mempertanyakan tentang kredibilitas AC Nielsen. Saat masih menjabat sebagai Menteri Informasi, Tifatul Sembiring pernah melakukan upaya untuk menggeser posisi AC Nielsen, lembaga rating asal Amerika Serikat, di Indonesia. Secara lebih tegas, beliau bahkan menjustifikasi bahwa AC Nielsen mengabaikan aspekedukasi dalam acara televisi, sebaliknya justru mengedepankan rating yang tinggi.
Pada tahun 2015 lalu, Presiden Joko Widodo juga memberikan kritiknya terhadap acara televisi di Indonesia. Presiden Joko Widodo melihat acara televisi tidak lebih dari bisnis, dan memberikan implikasi yang negatif kepada publik. Tayangan-tayangan yang dianggap buruk tersebut ternyata bukan main-main, mulai dari tayangan yang menampilkan unsur-unsur seksisme, kecengengan, pola budaya konsumtif di mana yang ditampilkan di televisi adalah barang-barang mewah hingga hal-hal yang tidak rasional seperti mempercayai takhayul.
Yang menjadi masalah adalah, tayangan-tayangan tersebut, dianggap baik karena memiliki rating yang tinggi oleh AC Nielsen. Bukankah tayangan yang buruk mencerminkan kualitas audiensnya juga? Jika Tifatul Sembiring dan Joko Widodo sampai angkat bicara, mungkin ada yang perlu benar-benar diselidiki tentang rating pertelevisian di Indonesia. Lantas seperti apakah AC Nielsen itu, yang merupakan lembaga pemeringkatan acara televisi satu-satunya di Indonesia?
Isi
AC Nielsen adalah lembaga pemberi rating atau pemeringkatan acara televisi yang berasal dari Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, perusahaan Nielsen, pelopor dalam studi pasar, menaklukkan pasar pemeringkatan penonton dan masih merupakan pemain dominan di bidang rating pemirsa TV nasional. Di kebanyakan negara Eropa, peringkat penonton pertama dilakukan di dalam rumah, di dalam badan layanan publik sendiri.
Saluran pribadi yang muncul dan pengiklan melakukan survei mereka sendiri, dengan berbagai tujuan dan metode. Mereka berkeras untuk mengkualifikasikan masyarakat, sedangkan saluran publik lebih mementingkan - masing-masing dengan caranya sendiri - tentang melihat 'kualitas', minat penonton terhadap program, dan sebagainya.Pada tahun 1980an, setelah negosiasi yang intens, peringkat penonton umumnya dioutsourcing ke perusahaan swasta (Bourdon & Madel, 2014).
Sebenarnya, rating bukanlah satu-satunya pedoman, bahkan juga bukan merupakan kenyataan (Erica & Panjaitan, 2006). Apalagi, AC Nielsen, lembaga yang bergerak untuk melakukan rating di Indonesia memang meragukan banyak pihak, tidahk hanya Kementrian saja, namun penelitian lain menunjukkan bahwa sistem penghitungan yang dipakai oleh AC Nielsen adalah tidak akurat(Milavsky, 1992).
A.C Nielsen didirikan oleh Arthur Charles (A.C.) Nielsen. Arthur Nielsen pada awalnya bekerja sebagai teknisi di Chicago dan mulai menginvestasikan uangnya pada perusahaan yang bergerak di pelaporan survei produksi, dan pada 1935 iamemiliki perusahaan yang melaporkan jumlah dan harga penjualan kebutuhan sehari-hari dan obat-obatan pada skala nasional.Melihat kesuksesan tersebut, Nielsen mencoba pasar radio pada 1936 dan kini berkembang ke ranah televisi(Newcomb & Kay, 2014).
Apa yang dilakukan oleh AC Nielsen sebagai lembaga pemeringkatan adalah menghitung kuantitas, bukan kualitas. Misalnya, ada berapa banyak orang yng menonton televisi pada saluran A pada jam sekian? A.C Nielsen juga melihat apakah orang-orang tersebut tetap menonton program yang sama setelah satu jam, dan seterusnya.
Apa yang diperlukan saat ini adalah melakukan pemeringkatan acara televisi secara kualitatif, bukan kuantitatif. Hal ini bukan berarti metodekuantitatif tidak perlu, namun mengandalkan satu metode saja dalam pemeringkatan acara televisi di Indonesia akan menghasilkan bias. Selain itu, keberadaan A.C Nielsen yang berasal dari Amerika Serikat juga terkesan memonopoli industri pemeringkatan acara televisi di Indonesia.
Metode kuantitatif tersebut memang kurang optimal untuk menentukan suatu acara berkualitas baik atau tidak. Misalnya, survei A.C Nielsen pernah menegaskan bahwa sinetron Rahasia Illahi yang pernah tayang di stasiun televisi RCTI berhasil meraih rating 14,2 dengan share 40%, yang artinya pada tayangan tersebut, setidaknya sebanyak 40% dari penonton televisi menyaksikan tayangan tersebut. Sementara itu, sinetron tersebut dianggap oleh beberapa pihak merusak citra agama Islam di mana tokohnya digambarkan beragama Islam dengan menganut ajaran magis dan hal-hal yang tidak rasional lainnya(Yogisworo, 2010).
Indonesia selayaknya mengedepankan lembaga pemeringkatan lainnya. Sebenarnya, di Indonesia bukan berarti tidak ada lembaga komersial seperti ini. Pemerintah perlu mengerahkan upaya untuk bekerja sama dengan lembaga ini. Masalah yang meliputi pemeringkatan atau rating acara televisi yang dilakukan oleh A.C Nielsen tidak akan selesai apabila tidak ada upaya yang nyata dan pemangku kepentingan hanya memberikan kritik tanpa solusi.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga cukup kerepotan dengan biasnya rating dan kenyataan kualitas konten tayangan televisi di Indonesia. Hal ini cukup digambarkan dengan surat peringatan yang diberikan oleh KPI ternyata acara televisi yang memiliki pemeringkatan tinggi. Padahal, program yang mendapat teguran dari KPI tentunya berpeluang besar berada di kategori program televisi yang bermasalah (Amelia, Desember 2015).