Lihat ke Halaman Asli

Catatan buat Caleg Aktivis, Belajar dari 2004 dan 2009

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

pic : www.metrotvnews.com

Pemilu Legilslatif yang akan di gelar 9 april 2014 tinggal selangkah lagi, semua caleg saling berlomba memanfaatkan media publik untuk menegaskan posisi dirinya. Tidak ketinggalan para caleg yang berasal dari kalangan aktivitis. Sejak era reformasi 1998, ketika parlemen jalanan menjadi raja dalam menumbangkan kekuasaan orde baru, banyak bermunculan aktivis aktivis yang punya sikap dan idealisme tinggi, mereka kemudian larut dalam euforia suka cita dan kemenangan saat itu. Nama nama seperti Andi Rahmat, Fahrihamzah, Budiman Sudjatmiko, Pius Lustrilanang, Rama Pratama, Anas Urbaningrum, Dita Indah sari, dan lain sebagainya kemudian dikenal sebagai aktivis 98.

Fenomena Caleg dari aktivis bukanlah hal baru di dua pemilu sebelumnya, geliat mereka sudah terasa. Banyaknya tawaran partai besar yang meminang mereka menjadi garansi atas perjuangan mereka yang mengatasnamakan suara rakyat. Apa yang mereka perjuangkan saat itu melalui parlemen jalanan adalah perjuangan kaum muda atas pemerintahan yang arogan untuk membentuk tatanan sosial yang mendatangkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pertanyaannya adalah, apa jaminan para caleg aktivis tersebut akan mampu memperjuangkan aspirasi rakyat di Senayan seperti yang mereka perjuangkan di jalanan ? tentu kita sudah bisa menjawabnya, idealisme yang mereka bawa ke ruang ruang legilatif ternyata harus kandas didepan pintu rumah rakyat.  Mereka justru terjebak dalam konstelasi politik di senayan dan ikut bermain, ini yang dinamakan penyimpangan perjuangan. Padahal publik menaruh hope besar pada mereka untuk dapat mendorong agenda -agenda pro rakyat melalui jalur parlemen.

Saya melihat aleg aktivis justru terjebak dalam labirin formalisme dan style borjuis, mereka mulai membuat jarak dan batas dengan rakyat, merasa seperti raja yang minta dihormati karena sudah berjuang atas nama RAKYAT, gila wibawa dan kekuasaan. Coba tengok, mana suara suara yang dulu mereka teriakkan didepan gerbang senayan? Justru sebagain dari mereka malah terjerat kasus hukum, melawan penegak hukum, berkongsi dengan koruptor dan bersembunyi dibalik anggaran atas nama rakyat. Mereka tak lagi bekerja dengan jargon jargon idealismenya tetapi duduk tenang dan pasif diruang runag dan rapat rapat komisi maupun pleno yang megah yang menggunakan uang rakyat. Mereka terjebak dalam deformasi statis politik yang mereka ciptakan sendiri dan membuang semua peluang kecil yang bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline