Konflik Tanah di Pulau Rempang
Pada kasus pulau rempang yang terletak di Kota Batam, Kepulauan Riau terdapat konflik agraria terkait proyek strategis nasional Rempang Eco City. Pada konflik ini terdapat dua hal yang menjadi pemicu atau penyebab terjadinya permasalahan pulau rempang.
- Masyarakat suku adat di pulau rempang menyatakan bahwa mereka telah berada di pulau rempang mulai dari nenek moyang mereka dalam kurun waktu lebih dari 200 tahun. Maka hal tersebut membuat mereka menyatakan bahwa tanah di pulau rempang merupakan tanah milik masyarakat adat. Namun pemerintah memberikan Hak Guna Usaha (HGU) di tanah tersebut pada sebuah Perusahaan di tahun 2001-2002. Tetapi tanah yang telah diberikan HGU tidak pernah dikelola maupun dikunjungi oleh investor.
- Terjadinya tumpang tindih terhadap penguasaan tanah di pulau rempang. Hal tersebut disebabkan oleh batas-batas penguasaan tanah tidak dibagi secara jelas oleh Bebas Batam (BP Batam) dan tanah adat milik masyarakat. Hingga terjadilah konflik dimana di pulau rempang yang dikatakan tanah masyarakat adat akan dilakukan proyek strategis nasional. Dan masyarakat adat diminta untuk meninggalkan pulau rempang. Hal ini justru menimbulkan rasa kecewa dan marah karena mereka merasa tidak mendapatkan keadilan atas tanah pulau rempang yang merupakan tanah masyarakat adat.
Status Tanah Masyarakat Adat Pulau Rempang
Dalam pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Hadi Tjahjanto tanah di pulau rempang dengan luas 17.000 hektare sebagian besar adalah kawasan hutan dan tidak ada yang memiliki hak atas tanah tersebut. Dr. Ir. Tjahjo yang merupakan Pakar Hukum Pertanahan pun menyatakan bahwa pulau rempang merupakan tanah bekas hutan dan bekas hak guna usaha. Dan Tjahjo pun menyebutkan bahwa tentang tanah ulayat atau tanah adat di pulau rempang belum adanya dasar hukum dan aturan tegas yang menyatakan bahwa tanah di pulau rempang merupakan tanah adat. Tanah yang berada di wilayah Batam akan direncanakan menjadi milik pemerintah dibawah pengelolaan BP Batam dan akan diberikan Hak Pengelolaan Lahan (HPL).
Hak Masyarakat Adat dalam Perspektif Hukum Agraria
Hak masyarakat adat yang berhubungan dengan tanah dan sumber daya alam telah diatur dalam hukum agraria yang terdapat dalam peraturan hukum di Indonesia.
- UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok agraria (UUPA)Di dalam UUPA telah mengatur terkait hak-hak masyarakat adat terhadap tanah dan sumber daya alam. Pasal 18B UUPA menyatakan bahwa negara mengakui hak masyarakat hukum adat atas tanah ulayatnya, yang di dalamnya termasuk hak-hak eksklusif untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam alam yang ada di dalamnya.
- UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan UU Kehutanan mengatur dan menyatakan bahwa dalam masyarakat adat mempunyai hak dalam mengelola hutan adat bahkan hak untuk mengelola rempah-rempah dan tumbuhan yang tumbuh di hutan tersebut.
- UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Di dalam UU HAM telah mengakui tentang hak masyarakat adat terhadap hak atas tanah dan hutan. Hal tersebut berjalan sesuai dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia dan hak masyarakat adat untuk menjamin hak-haknya sesuai budaya dan adat mereka.
Peran Lembaga Hukum Dalam Penanganan Kasus Rempang Perspektif Hukum Agraria
Lembaga Hukum yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Pengadilan Agraria mempunyai peran dalam penanganan kasus rempang dari perspektif hukum agraria di Indonesia.
Badan Pertanahan Nasional (BPN)
- Pendaftaran Tanah: Pendaftaran dan pembaruan data tanah di seluruh wilayah Indonesia adalah tanggung jawab BPN. Pada kasus rempang BPN dapat membantu masyarakat adat dalam mendaftarkan tanah agar masyarakat adat pulau rempang mempunyai hak atas tanah.
- Survey dan Pemetaan: BPN dapat melakukan pemetaan tanah kasus rempang untuk menentukan batas-batas tanah yang ada di pulau rempang
Pengadilan Agraria
- Penyelesaian Sengketa Tanah: Pengadilan agraria mempunyai kewenangan dalam mengadili sengketa tanah antara masyarakat adat, pihak swasta dan pemerintah
- Perlindungan Hak Masyarakat Adat: Pengadilan agraria mempunyai peran melindungi hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam. Pengadilan agraria dapat mengeluarkan putusan dan menegaskan hak-hak masyarakat adat dalam penyelesaian sengketa tanah di pulau rempang.
Peran Pemerintah Dalam Penyelesaian Konflik Tanah Pulau Rempang
Konflik agraria di pulau rempang mendapatkan titik terang. Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas di istana presiden dengan Menteri investasi, Bahlil Lahadalia. Menteri investasi dalam konferensi pers mengungkapkan bahwa Joko Widodo ingin penyelesaian konflik di pulau rempang dengan cara kekeluargaan dan mengutamakan hak-hak dan kepentingan masyarakat adat di pulau rempang. Ditegaskan juga oleh Menteri investasi bahwa setelah pertemuannya dengan tokoh masyarakat adat pulau rempang telah sepakat bahwa tidak terjadi pengusuran dan relokasi tetapi hanya terjadi penggeseran.
Pada proyek strategis nasional Rempang Eco City masyarakat terdampak akibat proyek tersebut. Masyarakat yang terdampak akan dipindahkan ke Tanjung Banun yang terletak tiga km lebih dari kampung lamanya. Pemerintah pun juga memberikan konmpensasi berupa setiap kepala keluarga mendapatkan rumah tipe 45 di Tanjung Banun dan jika rumahnya lebih besar dari tipe 45 akan mendapatkan tambahan uang tunai. Rumah di Tanjung Banun saat ini sedang dalam proses pembangunan. Selama proses pembangunan rumah masyarakat terdampak diberikan uang tunggu berupa uang makan Rp1.200.000 per orang dan uang kontrak rumah Rp1.200.000 per kepala keluarga. Masyarakat pulau rempang sudah bersedia untuk direlokasi telah diberikan uang sewa rumah dan uang makan hingga pembangunan rumah di Tanjung Banun selesai. Saat ini didapatkan kabar bahwa tiga kepala keluarga yang sudah mengalami pergeseran telah diberikan uang sewa rumah dan uang makan.
Penulis : Fitri Ramayanti
Sumber Referensi