Gaya storytelling sangat logis untuk diekspresikan di dunia jurnalistik. Menurut Wisnu Nugroho, untuk menyampaikan suatu kebenaran membutuhkan cara yang lembut agar tidak ada alasan bagi audiens untuk menolak, dan cara tersebut adalah melalui "storytelling".
Definisi storytelling bisa berbeda sesuai konteks. Namun, semua memiliki pijakan yang sama, yaitu "bercerita". Storytelling dalam dunia jurnalistik termasuk ke dalam bentuk naratif nonfiksi. Naratif nonfiksi adalah tulisan naratif berisi rangkaian peristiwa yang membentuk suatu jalinan cerita, bersifat deskriptif di dalamnya. Tulisan ini membutuhkan observasi yang baik, dan kemampuan mendeksripsikan hasil obersevasinya, membutuhkan urutan berpikir yang kronologis.
Pertanyaannya, apakah ada titik temu antara jurnalistik dengan storytelling?
Jurnalistik mencari kebenaran melalui tiga metode, yaitu 1) riset, 2) observasi, dan 3) wawancara. Sementara itu, storytelling berperan untuk menyampaikan kebenaran tersebut dengan apa adanya, karena intensi dalam menulis adalah upaya mencari kebenran. Mencari kebenaran adalah sebagai bagian dari kerja-kerja jurnalistik. Selain itu, bukankah seseorang lebih terinspirasi ketika membaca suatu cerita daripada membaca sebuah tabel? Cerita adalah cara yang dilakukan para nabi, filsuf, dan ilmuwan. Dengan demikian, simpul-simpul titik temu antara storytelling dan jurnalistik berkaitan.
Menurut Santosa (2008), terdapat empat dimensi setting yang perlu diperhatikan, yaitu 1) setting tempat, 2) setting waktu, 3) setting peristiwa, dan 4) setting suasana. Keempat dimensi tersebut membuat informasi menjadi makin detail. Semakin detail, semakin mudah untuk menghadirkan pesan yang ingin disampaikan. Untuk menjadi mahir dalam hal ini membutuhkan konsistensi selama 30 menit setiap hari. Selain itu, banyak membaca adalah kunci agar konsistensi tidak hanya sekadar rutinitas.
Bagi seorang storyteller yang menyampaikan kebenaran melalui jalur jurnalistik, perlu memiliki sikap-sikap berikut.
1. Harus mengenal audiens
2. Harus berhati-hati terhadap subjektifitas kultural
3. Loyalitas kepada masyarakat
4. Bertanggung jawab terhadap publik
5. Mencari hal yang tidak penting agar yang penting tetap penting.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H