Dalam konteks sosiologi, urbanisme dipahami sebagai dinamika perkotaan yang memiliki peran untuk menunjukkan kekhasan gaya hidup suatu kelompok.
Pada tahun 1938, Wirth mempublikasikan jurnal Urbanism As a Way of Live yang mengemukakan proposisi sosiologi terkait karakteristik kehidupan perkotaan yang dapat ditinjau melalui hubungan antara angka populasi, kepadatan pemukiman, dan heterogenitas penduduk.
Keterhubungan antara ketiga karakteristik kehidupan perkotaan melahirkan perspektif sosiologi, meliputi: 1) Struktur fisik, 2) Struktur sosial, dan 3) Seperangkat perilaku kolektif.
Pada dasarnya, perspektif sosiologi perkotaan dipengaruhi oleh variabel intervening, yaitu manusia. Kedudukan manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dilepaskan dari pengaruh individu lain dan lingkungan sekitar.
Secara psikis, manusia memiliki kehendak atau dorongan untuk mewujudkan interaksi sosial. Dorongan untuk mencapai bentuk interaksi antar individu berkaitan dengan salah satu hierarki kebutuhan manusia yang pernah disinggung oleh Maslow pada tahun 1943, yaitu kebutuhan keterlibatan sosial yang menempati posisi hierarki ketiga.
Kebutuhan manusia akan keterlibatan sosial dalam lingkup perkotaan biasanya dimulai dari pemukiman atau lingkungan hunian.
Hal ini dikarenakan pemukiman bertindak sebagai medium pembentukan pribadi dan budaya suatu kelompok atau komunitas yang mencerminkan masyarakatnya secara menyeluruh (Silas, 1993), sehingga manusia sebagai makhluk yang membutuhkan sense of belonging akan menginisiasikan suatu interaksi yang merupakan cikal bakal dari hubungan sosial.
Lebih dari itu, pemukiman juga bertindak sebagai sistem yang mempertimbangkan keseimbangan akan ekosistem dan sistem sosial dalam lingkungan hidup manusia yang bersifat saling ketergantungan.
Hal yang dianggap penting dalam memahami urbanisme dari segi sosiologi adalah melalui kekhasan gaya hidup suatu kelompok yang ditinjau melalui perilaku para individu di dalamnya.
Faktor-faktor yang memengaruhi perilaku para individu secara kolektif diperlukan untuk mengemukakan perbedaan dalam hal mengukur tiga fungsi perspektif sosiologi perkotaan, yakni struktur fisik, struktur sosial dan seperangkat perilaku.