Lihat ke Halaman Asli

Fitri Maria Ulfa

Mahasiswi D3 Kebidanan Unisa Yogya

Dinamika Masyarakat Islam dalam Politik Kebangsaan

Diperbarui: 25 Juli 2022   15:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hubungan Islam dan politik di Indonesia senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Umat Islam sebagai penduduk mayoritas merasa perlu untuk berpartisipasi aktif di bidang politik. Aspirasi Muslim terhadap politik memiliki sejarah dan jejak perkembangan yang panjang dalam pentas perpolitikan Indonesia, dari masa kerajaan Islam hingga Era Reformasi. Salah satu tujuan partisipasi masyarakat Islam terhadap perpolitikan yaitu untuk mengaktualisasikan nila-nilai Islam dalam pemerintahan berdaulat yang mayoritas memimpin masyarakat Islam. Istilah ini disebut dengan Islam politik. Islam politik merupakan Islam yang berusaha di wujudkan dan di aktualisasikan dalam bentuk kekuasaan atau dalam kelembagaan politik resmi, khususnya dalam bidang pemerintahan baik itu legislatife mapun yudikatif.

Akan tetapi, partisipasi dalam perpolitikan di jaman dahulu tidak segencar atau pun sepopoler sekarang. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya sistem politik, stabilitas negara, serta antusiasme masyarakat Islam khususnya. Meskipun beragama yang sama, cara pandang dan pemikiran tiap orang akan berbeda karena perbedaan latar belakang, baik latar belakang kepribadian atau pun lingkungan yang mempengaruhinya. 

Fenomena politik bagi masyarakat pelosok yang identik dengan keterbatasan akses akan bersikap apatis terhadap pemerintahan dan isu-isu politik yang ada. Apatisme adalah suatu sikap di mana tidak adanya simpati dan antusiasme terhadap sebuah objek.

 Apatis juga bisa diartikan sebagai sikap cuek atau tidak peduli. Jadi dapat dikatakan bahwa apatisme politik adalah rendahnya simpati dan antusiasme terhadap perkembangan politik yang berujung pada sikap tidak peduli. Tidak hanya itu, proses penerimaan Islam politik di kalangan masyarakat umum pun masih mengalami pro kontra. Sebagian berpendapat bahwasannya politik dan Islam merupakan dua hal yang berbeda yang tidak bisa disatukan, sehingga masyarakat Islam tidak perlu terlibat dalam dunia perpolitikan untuk memajukan Islam atau pun bangsa. Sebagian lagi berpendapat bahwa Islam dan politik merupakan dua hal yang saling berkaitan satu dengan lainnya. 

Islam merupakan agama yang universal yang salah satunya berkaitan dengan konsep politik. Islam meletakkan politik sebagai satu cara penjagaan urusan umat (ri'ayah syu-Q al-ummah). Sehingga Islam dan politik tidak boleh dipisahkan, kerana Islam tanpa politik akan melahirkan terbelenggunya kaum muslimin yang tidak mempunyai kebebasan dan kemerdekaan melaksanakan syariat Islam. Selain itu, politik dalam Islam juga masih menemukan masalah-masalah lain, seperti Islam hanya berperan marjinal dalam wilayah kehidupan politik nasional sekalipun Islam merupakan agama yang dominan dalam masyarakat Indonesia serta telah menjadi unsur yang paling berpengaruh dalam budaya Indonesia, salah satunya dalam politik Indonesia. Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk membahas terkait dinamika masyarakat Islam dalam politik kebangsaan di Indonesia.

Sejarah Islam Politik Di Indonesia

  • Masa Pra Kemerdekaan
  • Sejarah Islam politik pada masa pra kemerdekaan terbagi dua, yaitu masa sebelum dan setelah kedatangan bangsa kolonial/penjajah. Masa sebelum kedatangan bangsa kolonial/penjajah terkenal dengan masa Islamisasi di Nusantara. Banyak perbedaan pendapat para ahli sejarah dalam mengungkap masuknya Islam di Nusantara. Sebagian ahli berpendapat bahwa kedatangan Islam pertama-tama ke Indonesia sudah sejak abad pertama Hijriah atau abad ke ke-7 M, dan sebagian lagi berpendapat bahwa Islam baru datang pada abad ke-13 M, terutama di Samudra Pasai. Di Jawa proses islamisasi sebenarnya sudah berlangsung sejak abad ke-11 M. Sejak itu sampai abad ke-13 dan abad-abad berikutnya, terutama setelah Majapahit mencapai kebesaran, proses islamisasi di pelabuhan-pelabuhan terus berlangsung. Di sanalah kerajaan Islam pertama Jawa, yaitu Demak, berdiri diikuti kerajaan Cirebon dan Banten di Jawa Barat. Demak berhasil menggantikan Majapahit, dilanjutkan kerajaan Pajang, kemudian Mataram. Ulama-ulama yang yang bereperan mengembangkan Islam di Jawa adalah Wali Songo (Dalimunthe, 2016).
  • Proses islamisasi yang dilakukan para wali ini dilakukan melalui beberapa cara, salah satunya melalui politik atau kekuasaan. Para wali melakukan pendekatan kepada para penguasa kerajaan agar menjadi muslim. Harapannya akan berpengaruh pada rakyat serta pendukungnya sehingga mereka akan mengikuti dengan cepat. Penguasa juga dapat memengaruhi para penguasa lainnya untuk menganut agama Islam sehingga dalam hal ini Islam akan mengalami perkembangan yang sangat cepat (Susmihara, 2017). Berdasarkan pendapat para pakar sejarah menyatakan bahwa dalam penyebaran agama Islam di Indonesia tak terlepas dari banyaknya dukungan yang sangat kuat dari para penguasa (Gunawan, 2018).
  • Jadi pada dasarnya, keterlibatan masyarakat Islam dalam dunia perpolitikan sudah terjadi sejak agama Islam masuk di Nusantara, bahkan salah satu cara penyebarannya pun melalui politik. Cara yang digunakan para wali ini tentunya berdasar pada sumber hukum Islam (Al Quran dan Hadist) serta kisah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dan para khalifah dahulu.
  • Masa setelah kedatangan bangsa kolonial/penjajah menciptakan kondisi dan situasi kemiskinan, kesengsaraan, perbudakan, eksploitasi, monopoli dan situasi ketidakstabilan dari berbagai aspek lainnya di Nusantara. Kondisi ini berlangsung ratusan tahun. Kedatangan Belanda di akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 menjadi babak pembuka penderitaan bangsa Indonesia. Beralihnya motif Belanda dari kepentingan ekonomi menjadi kolonialisasi di abad ke-17 sampai abad ke-18, memunculkan berbagai reaksi dari penduduk pribumi. Reaksi tersebut merupakan kebangkitan kesadaran bangsa Indonesia khususnya umat Islam dengan berbagai gerakan perlawanan, baik gerakan politik, maupun gerakan sosial keagamaan. Berbagai perlawanan seperti perang Paderi di Minangkabau (1821-1827), perang Diponegoro yang terjadi di Jawa (1825-1830), perang Aceh (1837-1903), dan perang lainnya tidak terlepas dari sendi Islam (Zuhri, 2018). Pada tahun 1905, terdapat gerakan pembaharuan agama yang diprakarsai oleh komunitas Arab di Batavia, yaitu Jam'iyyat Khair. Perserikatan ini mendirikan sekolah yang mendatangkan gurunya dari kalangan Islam modernis yang bernama Syeikh Ahmad Surkati. Menyusul kemudian, gerakan dari al-Irsyad yang dibentuk oleh Surkati pada tahun 1915. Gerakan ini mendirikan sekolah yang sebagian besar muridnya keturunan Arab dan sebagiannya lagi penduduk pribumi.
  • Sebagaimana yang disinyalir oleh Azyumardi Azra bahwa terdapat pengaruh kaum sarjana pembaru atau aktifis seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha terhadap pembaharuan pemikiran para modernis. Masuknya pemikiran pembaharuan baik yang dibawa oleh ulama yang bermukim di Timur Tengah khususnya yang belajar di Mekah dan Medinah, maupun melalui media cetak berbahasa Arab seperti al-Urwah, dan al-Manar yang berasal dari Qairo, al-Imam dari Singapura dan al-Munir di Padang, Sumatra Barat, telah membangkitkan kesadaran masyarakat Indonesia khususnya umat Islam untuk bangkit melawan kolonialis Belanda yang telah merampas kemerdekaan bangsa Indonesia dalam berbagai hal selama beratus tahun. Baik kemerdekaan beragama, berserikat, mengeluarkan pendapat bahkan kemerdekaan dalam mencari penghidupan (ekonomi) dengan sistem monopoli dagangnya yang dikenal dengan VOC. Kesadaran ini disebut dengan kesadaran nasional, yaitu kesadaran yang menggalang semangat kebangsaan dari kemiskinan, penindasan, kebodohan dan keterbelakangan akibat penjajahan Belanda dan Jepang. Oleh sebab itu, sejarah keterlibatan masyarakat Islam dengan politik kebangsaan sangat erat kaitannya dengan sejarah kebangkitan nasional (semangat memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia). Hal ini mendorong lahirnya organisasi-organisasi sosial atau pun sosial keagamaan seperti Budi Utomo, Taman Siswa, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Celebes, Sarikat Dagang Islam (SDI) di Bogor (1909) dan Solo (1911), Persyarikatan Muhammadiyah di Yogyakarta (1912), Persatuan Islam (Persis) di Bandung (1920), Nahdatul Ulama (NU) di Surabaya (1926) dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Bukittinggi (1930); dan parta-partai politik seperti Sarikat Islam (SI) yang merupakan kelanjutan dari SDI, Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Padang Panjang (1932) dan Partai Islam Indonesia (PII) pada tahun 1938 dan lain sebagainya (Duriana, 2015).
  • SI (Serekat Islam) berkembang menjadi organisasi politik Indonesia yang menuntut kemerdekaan penuh atas Indonesia. Organisasi ini dipimpin oleh H.O.S Tjokroaminoto yang sebelumnya dipegang oleh Samanhudi atas dorongan Tirtoadisurjo. Gerakan SI memiliki misi untuk memakmurkan dan mensejahterakan rakyat Muslim, maka tidak heran jika pada perjalanannya, organisasi ini memiliki banyak pengikut dan berkembang pesat. Pada tahun 1919, SI menyatakan memiliki 2 juta anggota, meskipun jumlah sebenarnya tidak lebih dari setengah juta orang. Namun, kepopuleran SI tidak bisa dipertahankan di tahun 1920 dalam meraih kemerdekaan, selain itu muncul perpecahan disebabkan permasalahan internal dalam tubuh SI sendiri (Zuhri, 2018).
  • Selanjutnya, Muhammadiyah sebagai kelompok Islam reformis yang diprakarsai oleh KH Ahmad Dahlan dengan cepat gagasan-gagasannya diterima dan menjadi poluler. Pengalaman KH Ahmad Dahlan yang pernah masuk dalam keorganisasian Budi Utomo dan pengamatannya terhadap organisasi Islam lainnya seperti Serekat Islam dan Jam'iyyat Khair menjadi latar belakang terbentuknya Organisasi Muhammadiyah. Organisasi ini diwujudkan untuk masyarakat pribumi yang mengedepankan gerakan modernisme Islam. Pada tahun 1920, organisasi Muhammadiyah telah tersebar di berbagai daerah di Indonesia, diantaranya Minangkabau, Pekalongan, Surabaya, Bengkulu, Banjarmasin, Amuntai, Aceh dan Makassar (Zuhri, 2018).
  • Pada tahun 1920-an, lahir pula organisasi pembaharuan Islam, yaitu Persatuan Islam (Persis) dan Nu (Nahdatul 'Ulama). Persis yang dibentuk oleh KH Zamzam lahir pada tahun 1923 di Bandung. Organisasi ini tidak terlalu bergairah untuk menambah banyak anggota. Kegiatan Persis lebih mengutamakan dakwah lisan dan tulisan, seperti menerbitkan buku dan majalah, ceramah, dan aktif di media massa. Selanjutnya, organisasi NU lahir di tahun 1926 yang didirikan oleh KH Wahab Hasbullah dan didukung oleh KH Hasyim Asy'ari. Lahirnya organisasi ini dilatarbelakangi oleh keengganan terhadap kaum modernisme dan hendak membela kepentingan kaum tradisionalis. Gerakan organisasi ini cukup pesat, pada tahun 1942, sudah memiliki 120 cabang di Jawa dan Kalimantan Selatan. Kemudian di tahun 1930, muncul organisasi pembaharu Islam di Bukittinggi yang bernama Perti (Pergerakan Tarbiyah Islamiyah) (Zuhri, 2018).
  • Seiring dengan perkembangan pergerakan Muslim, dan pada tahun 1926 dengan ditumpasnya pemberontakan PKI dan ketidakaktifan lagi SI, Soekarno dan Algemeene mendirikan sebuah partai politik baru. Politik tersebut bernama Perserikatan Nasional Indonesia yang menuntut kemerdekaan Kepulauan Indonesia dengan cara nonkooperatif dan dengan organisasi massa. Dengan adanya partai PNI, menunjukkan bahwa terdapat dua ideologi nasionalisme di Indonesia. Partai PNI mewakili nasionalis sekuler dan SI mewakili nasionalis Islam. Setelah Belanda ditumbangkan oleh Jepang pada tahun 1942, penjajah Jepang melihat bahwa kaum santri bisa membantu mereka dalam hal administrasi wilayah Indonesia. Mereka juga berasumsi bahwa orang-orang yang disekolahkan oleh Belanda tentu akan bersimpati pada Belanda dan Eropa. Oleh karena itu, untuk mendapatkan kepercayaan, Jepang memihak kepada santri. Selama masa penjajahan Jepang (1942-1945), kekuatan politik Islam semakin menguat. Hal ini karena kebijakan-kebijakan Jepang yang memberikan ruang kepada Muslim Indonesia untuk mengekspresikan kegiatan keagamaannya. Dukungan lainnya yaitu adanya pengangkatan pribumi menjadi sanyo, atau jabatan politik pada tiap-tiap departemen Indonesia. Selain itu, kebijakan-kebijakan Jepang lainnya yang sangat berpengaruh besar adalah pembentukan kantor urusan agama (Shumubu), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), dan Hizbullah (Zuhri, 2018).
  • Masa Orde Lama
  • Perbedaan adanya dua kelompok tentang dasar negara semakin nampak pada perumusan sila pertama. Meskipun para pendiri bangsa ini telah menerima pancasila sebagai dasar negara, sebagian Muslim lainnya meminta agar posisi Islam tercantum dalam konstitusi negara, yang mana aspirasi mereka ini dikenal dengan Piagam Jakarta dengan adanya penambahan kalimat "kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi para pemeluknya." Piagam ini disetujui dan dimasukkan ke dalam UUD 1945, namun ditentang oleh kaum nasionalis41 dan akhirnya piagam tersebut tidak dicantumkan demi kesatuan bangsa Indonesia. Peristiwa tersebut menyebabkan timbulnya gerakan pemberontakan Islam, diantaranya pada tahun 1949, Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo dan gerakan Darul Islam-nya melawan pemerintah pusat. Tanggal 7 Agustus 1949, ia memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII) dan menyatakan bahwa dirinya sebagai Imam. Pada tahun 1952, Kahar Muzakkar yang berada di Sulawesi Selatan menyatakan penegakan sebuah negara Islam atas komando Kartosuwirjo. Perlawanan serupa juga terjadi di Aceh di bawah pimpinan Daud Beureueh yang juga mengajukan kepada pemerintah pusat. Permasalahan inilah yang menjadi salah satu penyebab dikeluarkannya Dekrit oleh Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dan dinyatakan utuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian berakhirlah perdebatan antara pihak Islam dan pihak kebangsaan.
  • Di masa berikutnya, pada masa demokrasi terpimpin, Soekarno memiliki porsi yang besar dalam memimpin bangsa. Hubungan Islam dan negara mulai memburuk. Hal ini ditandai dengan otoritas Soekarno pada tahun 1960 yang memberinya otoritas untuk melarang dan membubarkan partai-partai yang menentang negara. Politik Islam semakin melemah dengan dibubarkannya PSI dan Masyumi pada 17 Agustus 1960, karena tidak mengeksekusi secara tegas anggota yang terlibat dalam pemberontakan daerah PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) atau Permesta (Perjuangan Semesta Alam). Akan tetapi, NU justru lebih dekat dengan Soekarno. Hal ini disebabkan karena dalam banyak hal, NU dan PNI memiliki banyak kesamaan ketimbang dengan Masyumi. Kedua partai ini mempunyai basis yang kuat di Jawa dan mencakup nilai-nilai Jawa, serta lebih menghargai gaya kepemimpinan tradisionalis dari pada cita-cita demokrasi Barat. Namun, pada akhirnya partai NU pun jatuh di panggung perpolitikan bersama dengan gagalnya pemberontakan PKI pada 1965 (Zuhri, 2018).
  • Masa Orde Baru
  • Sepanjang 32 tahun masa Orde Baru, rakyat tidak memiliki ruang yang memadai untuk menyalurkan gairah politiknya secara bebas, setara, dan seimbang dengan kekuasaan karena dibatasinya kebebasan berekspresi politik. Pada masa ini, masyarakat tidak berani mendirikan partai politik di luar jaring kekuasaan politik orde baru karena takut dituduh subversif. Secara garis besar, hubungan Islam dan negara dapat dibedakan menjadi 2 periode. Pertama, periode antagonistik (1966-1985). Hubungan Islam dengan negara pada masa ini (1967-1982) oleh Bakir disebut dengan periode antagonistik. Pada masa ini negara diselimuti mitos pembangkangan umat Islam dan Islam sendiri masih kental dengan corak politik ideologisnya (Sukamto, 2008). Pemerintahan Orde Baru berpikir pemerintahan terlalu sibuk dengan orientasi ideologi dalam hal pembangunan, sehingga menyebabkan kehancuran ekonomi karena perdebatan ideologi yang sengit. Oleh karena itu untuk memperbaiki pembangunan ekonomi, industralisasi atau pemenuhan kebutuhan dasar rakyat masa depan Indonesia harus bebas dari politik yang didasarkan kepada ideologi. Oleh sebab itu, sebagian para ahli berpendapat pada masa ini disebut Islamic Fobia. Islamic fobia dikalangan pemerintah baru ini diduga oleh beberapa tokoh Islam juga disebabkan oleh kuatnya pengaruh CSIS bagi kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap Islam. CSIS adalah salah satu think-tank yang menopang berdirinya Orde Baru yang didirikan oleh Tionghoa non-muslim. CSIS menurut tokoh Islam mempunyai pengaruh besar terhadap pemerintahan Suharto lebih dari 15 tahun, dan mampu menciptakan atmosphere bahwa musuh besar pemerintah adalah Islam (Sukamto, 2008). Hal inilah yang menjadikan umat Islam merasa kecewa di masa Orde Baru.
  • Periode ini terdiri dari dua babak. Babak pertama yaitu hingga tahun 1981, dimana ketika umat Islam secara bulat menentang dan bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah, karena dianggap tidak sesuai dengan aspirasi umat Islam. Di antara aspirasi tersebut adalah menolak rehabilitasi Masyumi, melarang adanya PDII (Partai Demokrasi Islam Indonesia) yang digagas oleh Moh. Hatta, rumusan rancangan undang-undang tentang perkawinan, mengganti pelajaran agama dengan Pancasila ke dalam kurikulum pendidikan Indonesia, melarang siswi Muslimah menggunakan hijabnya, dan legislasi perjudian oleh negara. Babak kedua dari periode ini adalah tahun 1982-1985, dimana umat Islam mulai sejalan dalam merespon kebijakan Orde Baru, meskipun ada sebagian yang masihbersikap oposisi dan sebagiannya lagi lunak dengan kebijakan negara. Hal ini dikarenakan banyak cendikiawan dan kelas menengah umat Islam yang masuk dalam jajaran pemerintahan, serta Orde Baru memandang bahwa Islam adalah kekuatan yang tidak bisa dinafikan, dan harus lebih berhati-hati dalam menetapkan kebijakan-kebijakan.
  • Kedua, periode akomodatif (1985-1998). Pada periode ini pemerintah menunjukkan sikap akomodatif terhadap Islam. Di antara sikap tersebut adalah banyak dari kalangan Muslim yang menduduki jabatan di berbagai lembaga. Hal ini tidak terlepas dari usaha Nurcholis Madjid dalam mencairkan hubungan antara Islam dan negara yang dikenal dengan Islam kultural. Hingga pada tahun 1990, pemerintah dan umat Islam menjalani hubungan yang mesra, ketika para tokoh Muslim banyak memegang jabatan yang strategis di pemerintahan. Namun, jika diakumulasikan hubungan Islam dan pemerintah dari masa orde lama hingga orde baru menunjukkan bahwa politik Islam kurang leluasa dalam mengapresiasikan gagasan-gagasannya. Sehingga pada masa orde baru Islam politik yang diartikan sebagai gerakan umat Islam dalam mengapresiasikan gagasan-gagasannya melalui saluran perpolitikan mengganti strateginya yang menitikberatkan pada Islam kultural. Hal ini dilakukan para cendikiawan Muslim untuk menghilangkan stigma negatif akan radikalisme politik Islam selama masa orde lama.
  • Masa Post Soeharto
  • Secara garis besar, Islam politik pada masa ini mengalami kebangkitan yang ditandai dengan tiga hal. Pertama, kegairahan pembentukan partai politik Islam. Perubahan kebijakan pembentukan partai politik pada masa reformasi, yang mulanya berdasar pada Undang-undang No. 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, yang membatasi pembentukan partai politik baru di Indonesia, serta Undang-undang Azas Tunggal Pancasila No. 8 tahun 1985 yang pokok isinya bahwa setiap partai politik harus menggunakan Pancasila sebagai dasar negara, tidak ada asas lain kecuali Pancasila, pada masa pemerintahan B.J. Habibie, beliau memberi ijin untuk terbentuknya partai politik baru (kebebasan berekspresi politik) menyebabkan beberapa tokoh yang pada masa Orde Baru tidak berniat mendirikan atau bergabung dengan partai politik, menjadi mendirikan partai politik.
  • Akan tetapi, kendati pendirian partai politik Islam pada masa ini menuai pro kontra di kalangan Islam. Salah satu pihak pro, yaitu Deliar Noer menegaskan bahwa partai Islam tidak pernah turut merusak persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, karena partai Islam memiliki tujuan untuk menegakkan persatuan dan kesatuan serta berusaha mewujudkan cita-cita kemerdekaan, seperti keseiahteraan rakyat, demokrasi, keadilan dalam hukum, politik dan ekonomi serta dengan sendirinya melindungi dan menegakkan hak asasi manusia (Bustaman-Ahmad, 2003). Sementara itu, pandangan yang tidak mendukung berdirinya partai Islam salah satunya dikemukakan oleh Azumardi Ana bahwa dirinya tidak setuju dengan berdirinya partai-partai politik Islam. Azra berpendapat bahwa ide pendirian partai-partai Islam lebih banyak didukung keinginan elit politik muslim untuk mendapatkan kekuasaan dari pada alasan-alasan keagamaan. Pendapat ini tampaknya tidak keliru, sebab banyak partai yang didirikan oleh umat Islam dengan lebih mengandalkan tokoh-tokoh politik dari pada program partai (Bustaman-Ahmad, 2003).
  • Dengan demikian, bangkitnya partai-partai di kalangan umat Islam, terlepas dari pro dan kontra, membuktikan bahwa kekuatan "Islam politik" di Indonesia pada hakikatnya selalu ada pada tokoh-tokoh penting Islam. Sehubungan dengan itu, tokoh-tokoh tersebut ketika mendirikan partai politik sangat didukung oleh situasi politik yang ada. Dengan bahasa lain, dari pada suara umat Islam digunakan oleh "kelompok lain", tentunya lebih baik jika disalurkan kepada partai sendiri.
  • Menjelang PEMILU 1999 sudah terdapat 35 buah partai Islam yang mendaftarkan diri ke Departemen Kehakiman dan setelah diadakan seleksi oleh Tim sebelas yang lolos sebagai kontestan PEMILU 1999 sebesar 20 partai Islam dari 48 partai politik. Pada pemilu 2004 jika dilihat bukan hanya dari asas yang dipakai tetapi juga simbol, nama, dan basis masa pendukung maka terdapat tujuh partai politik yang boleh dikatakan sebagai wakil dari partai politik Islam yaitu: Partai Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Bulan Bintang, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia, dan Partai Bintang Reformasi. Kelima partai tersebut berasaskan Islam. Dua partai yang mengandalkan basis masa pendukung dari umat Islam yaitu Partai Amanat Nasional dari Muhammadiyah dan Partai Kebangkitan Bangsa dari NU. Berdasarkan hasil perolehan suara pada pemilu masa pasca Suharto, partai Islam mendapat suara yang cukup signifikan pada pemilu 1999 memperoleh 35,5% dari total suara yang masuk dan pada pemilu 2004 memperoleh 38,35% dari total suara yang masuk. Lonjakan perolehan suara pada pemilu 2004 didapat Partai Keadilan Sejahtera, pada pemilu 1999 Partai Keadilan hanya memperoleh 1,36% suara sedangkan pada pemilu 2004 (Sukamto, 2008).
  • Kedua, maraknya gerakan Islam garis keras. Ciri khas dari gerakan Islam radikal adalah sifat intoleransi dalam melihat the others. Meskipun wilayah dan cara kerjanya berbeda namun organisasi Islam radikal mempunyai tujuan, goal yang sama yaitu mendirikan Daulah Islamiyah dan penegakkan syari'ah Islam di Indonesia khususnya dan Asia pada umumnya.
  • Ketiga, menguatnya kembali perjuangan untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia. Gerakan Islam yang memperjuangkan syariat Islam di Indonesia bertindak dalam dua pola: (1) pola kekuasaan politik yaitu dengan cara melakukan lobi-lobi kekuasaan (DPR, MPR, dan partai politik) dan (2) pola kultural menuju kekuasaan yaitu dengan cara dakwah di masyarakat dengan strategi menguasai masyarakat terlebih dahulu kemudian mengislamkan kekuasaan (Zada 2002:32).
  • Pada tahun 1999 dikeluarkan UU No. 44 tentang penyelenggaraan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai awal pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, kemudian disusul tuntutan penegakan syariat Islam di beberapa daerah di Indonesia misalnya Sulawesi Selatan, Riau, Banten, Cianjur, Tasikmalaya, Kebumen, Indramayu, Pamekasan, dan lain-lain.

Kesimpulan

  • Islam politik merupakan istilah lain dari keterlibatan masyarakat Islam dalam politik kebangsaan di Indonesia. Sejarah keterlibatan (partisipasi) masyarakat Islam dalam politik kebangsaan sudah lama terjadi sejak datangnya Islam ke Nusantara. Mayoritas penduduk yang beragama Islam telah menggerakkan hati dan pikiran masyarakat Islam, khusunya tokoh-tokoh Islam untuk ikut berpartisipasi dalam perpolitikan dengan tujuan untuk mengaktualisasikan nila-nilai Islam dalam pemerintahan berdaulat dalam bentuk kekuasaan atau dalam kelembagaan politik resmi, khususnya dalam bidang pemerintahan baik itu legislatife mapun yudikatif. Akan tetapi, dalam perjuangan ini tentunya banyak dukungan/penolakan, baik dari kelompok/individu tertentu yang kontra terhadap Islam, sehingga menyebabkan Islam politik mengalami keterhambatan/keterbatasan dalam mengekspresikan kebebasan politik di Indonesia.
  • Seiring berjalannya waktu, eksistensi Islam politik di dunia perpolitikan Indonesia perlahan mendapat banyak dukungan hingga sekarang. Namun, perjalanan Islam politik di Indonesia tampaknya masih akan menggunakan simbol-simbol yang dianggap merepresentasikan kehendak ideal dari agama yang dianutnya. Karena itu, bersamaan dengan lahirnya partai-partai politik seperti disebutkan di atas, beberapa partai lain yang mencirikan simbol keislaman juga tumbuh subur, salah satunya simbol verbal yang melekat dengan komunitas Islam.Di antara partai-partai itu ada yang muncul kembali setelah lama tenggelam karena kebijakan pemerintah masa lalu, dan sebagiannya lagi memang baru berdiri setelah orde baru bubar. Untuk jangka waktu ke depan, agama masih akan memainkan fungsi simboliknya dalam proses politik yang diperankan para aktivis politik. Agama, sederhananya, merupakan kendaraan strategis untuk memperlicin jalan menuju cita-cita politik, terutama pada negara yang "seluruh" penduduknya beragama. Simbol-simbol inilah yang banyak digunakan para elit politik untuk membangun komunikasi politik dengan konstituennya.

DAFTAR PUSTAKA

Bustaman-Ahmad, K. (2003). DINAMIKA ISLAM POLITIK DI INDONESIA PADA ERA REFORMAST ( 1998-2001 ). Al-Jami'ah, 41(1), 69--106.

Dalimunthe, L. A. (2016). Kajian Proses Islamisasi Di Indonesia (Studi Pustaka). Jurnal Studi Agama Dan Masyarakat, 12(1), 115--125. https://media.neliti.com/media/publications/140046-ID-kajian-proses-islamisasi-di-indonesia-st.pdf

Duriana. (2015). ISLAM DI INDONESIA SEBELUM KEMERDEKAAN. DIALEKTIKA, 9(2), 57--70.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline