Lihat ke Halaman Asli

Fitri Manalu

TERVERIFIKASI

Best Fiction (2016)

Sang Warna Terakhir [Satu-Merah]

Diperbarui: 13 November 2021   07:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Sang Warna Terakhir Sumber: pixabay.com

Sejak lama benakku dipenuhi pertanyaan tentang warna. Warna-warna bahagia, muram, dan nestapa. Segalanya membaur dalam kenangan-kenangan yang mustahil disingkirkan begitu saja. Bermula dari suatu pagi temaram di teras rumah, duniaku kemudian berubah. Apakah kau juga pernah mengalaminya? 

-Kalila-

[SATU] MERAH

  

Sosok lelaki itu terlihat gelisah. Tubuhnya bergerak-gerak, walaupun sepasang kakinya seolah-olah terpaku di trotoar. Lelaki itu bersandar di tiang lampu jalan, sendirian. Sekilas, tubuh cekung itu tampak menyatu dengan tiang. Pandangannya mengarah pada ruas jalan yang sepi. Tiada siapa-siapa yang melintas. Sepagi ini kehidupan melaju dengan lamban. Orang-orang masih ingin bergulat dengan mimpi, sementara lelaki itu mungkin telah merdeka dari mimpinya.

Sepasang mataku menatap penuh rasa ingin dari jendela putih berukuran besar. Meskipun udara dingin gagal menembus hangatnya sweter abu-abu tebal yang kukenakan, separuh hatiku terasa nyeri. Kehadiran lelaki itu malah menyempurnakan kesunyian yang kurasakan. Perbedaan kami hanyalah soal tempat, aku sedang berada dalam rumah yang hangat, sementara lelaki itu entah sedari kapan berdiri di tepi jalan.

Sebuah niat berkecamuk dalam benakku. Aku ingin turun dan menemui lelaki itu. Mungkin sekadar menyapa atau kami bisa berbincang. Rumah ini terasa kosong dengan keberadaanku. Hanya aku, tiada lagi yang lainnya. Ini adalah rumah kelima yang kujadikan sebagai kediaman. Aku selalu hidup berpindah-pindah. Hampir segala jenis rumah telah kuhuni, mulai dari rumah di perkampungan, gang sempit, pedesaan, rumah susun hingga apartemen di pusat kota. Aku tak pernah tinggal lama karena selalu dihantui oleh sesuatu yang tak mampu kuutarakan.

Suara siulan terdengar melengking tajam. Aku tersentak. Lelaki itu sedang bersiul-siul sesuka hatinya. Nada-nada terdengar naik, lalu turun tiba-tiba. Siulannya mengingatkanku pada kegaduhan di pasar pagi. Tiba-tiba suatu dorongan menggerakkan keinginanku. Sepasang kakiku bergegas menuruni tangga. Setengah berlari, aku menuju ke pintu depan. Pintu terbuka dan....

"Selamat pagi, Kalila."

Kakiku surut selangkah. Lelaki itu sudah berada di depan pintu dan mengetahui namaku!

"Jangan tutup pintu ini, kita bisa bicara di dalam atau di luar rumah. Terserah kau saja." Lelaki itu seolah mampu membaca pikiranku.

"Si-si-apa kau?" tanyaku dengan ketakutan yang merayap cepat. Lelaki ini bisa saja orang sinting yang suka mengincar perempuan yang sedang sendirian. Mungkin dia sudah lama mengamatiku dan mencari kesempatan. Barangkali dia seorang psikopat yang sedang berkeliaran atau....

"Pikiranmu melantur tak tentu arah." Lelaki itu berkata dengan tenang. "Kita bicara di luar saja, agar kau merasa nyaman."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline