Lihat ke Halaman Asli

Fitri Manalu

TERVERIFIKASI

Best Fiction (2016)

Cerpen | Ruang Tunggu

Diperbarui: 3 November 2016   14:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Ilustrasi: ppob bukopin imperiumpay - WordPress.com

Yang terbaik dari demam adalah saat kau merasakan uap hangat di telapak tanganmu. Terutama bila suhu tubuhmu merangkak naik, padahal tubuhmu menggigil kedinginan. Itulah yang sedang kulakukan saat ini, mengembuskan nafas berkali-kali ke telapak tangan sambil menunggu giliran di ruang tunggu. Cuaca di luar sedang tak bersahabat. Sedari pagi, hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan reda.

Ruang tunggu adalah tempat paling membosankan di dunia. Game terbaru di gawai pun tak kuasa mengenyahkan rasa jemu yang menggerogotiku. Sudah dua jam aku menunggu. Dokter baru akan tiba satu jam lagi. Kembali ke rumah dalam cuaca seperti ini sungguh tak mungkin. Demamku sedang menggila. Aku cuma bisa pasrah sambil menebar pandang ke sekeliling. Barangkali, ada hal menarik yang bisa kulakukan.

Suster di balik meja memiliki sepasang mata awas yang meresahkan. Kesimpulan itu kutarik dari caranya menatapku berkali-kali tanpa senyuman. Lensa kacamatanya tak dapat menyembunyikan tingkahnya itu. Mau tak mau, aku jadi mengamati diriku sendiri. Mungkin ada yang salah dengan penampilanku. Sweter biru, jeans tua, dan sepasang sepatu kets yang terinjak di bagian belakang. Semuanya wajar saja.

Perhatianku lalu beralih pada perempuan tua yang duduk di seberangku. Perempuan tua itu sedang terbatuk-batuk. Sepasang matanya nampak berkaca-kaca. Wajahnya memerah. Suaranya batuknya nyaris tanpa jeda. Batuk kering yang menyiksa. Sungguh malang. Nasibku sedikit lebih baik darinya.

Selain kami berdua dan suster, tak ada orang lain di sini. Ruang tunggu ini akan berubah menjadi pemakaman tanpa suara batuk-batuk dari perempuan tua itu. Sunyi. Aku mengamati dua ruas bangku berseberangan yang hanya diisi oleh dua orang saja. Mubazir. Lebih baik aku mulai bermain-main. Sepertinya cukup mengasyikkan bila aku berpindah-pindah dari satu bangku ke bangku lainnya.

Satu bangku ke sebelah kanan. Satu bangku ke sebelah kiri. Tiga bangku ke sebelah kanan. Hup! Aku berpindah cepat ke bangku seberang dan duduk tepat di sebelah perempuan tua. Suara batuk perempuan tua itu terhenti. Sepasang matanya melotot ke arahku. Masa bodoh. Sekarang aku kembali ke posisi semula. Saat aku melirik ke arah suster, aku mendapati sepasang mata awasnya sama melototnya dengan perempuan tua. Lensa kacamatanya bahkan melorot hingga ke pertengahan hidung. Aku tertawa dalam hati. Ini benar-benar menyenangkan.

Aku melirik pada jam besar di dinding. Setengah jam sebelum dokter tiba. Masih ada waktu untuk melanjutkan permainan. Dua bangku ke sebelah kiri. Satu bangku lagi ke sebelah kiri. Suara langkah tergesa-gesa mendekatiku. Suster berdiri di hadapanku tanpa lensa kacamata. Sikapnya terlihat panik.

“Ada apa?” tanyaku bersikap tenang.

“Ikut saya sekarang.”

“Ke mana? Dokter kan belum datang.”

“Bawa dia!” perintah suster itu mengabaikan ucapanku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline