Lihat ke Halaman Asli

Fitri Manalu

TERVERIFIKASI

Best Fiction (2016)

Cerpen | Cerita tentang Gadis Berpayung Merah

Diperbarui: 19 Oktober 2016   06:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Ilustrasi: Pinterest

Banyak hal yang bisa kau cermati dari sebuah payung. Entah itu warnanya, ukurannya, atau malah kapan tepatnya payung itu digunakan. Yang ingin kukatakan padamu adalah: ada baiknya kau mengamati hal-hal menarik di sekitarmu. Barangkali kau akan menemukan ide atau sesuatu yang tak terduga. Kalau kau tak keberatan, sekarang aku akan bercerita. Kau boleh menyimak ceritaku ini sambil menunggu hujan reda.

Waktu itu aku sedang menunggu seseorang di kafe. Seorang gadis. Caramel latte-ku yang kedua nyaris tandas. Tapi gadis itu tak kunjung tiba. Aku mulai merasa jemu. Kalau bukan karena janjinya untuk menemuiku, aku takkan menyia-nyiakan waktu di sini. Bukan karena aku orang yang super sibuk (kadang-kadang aku pura-pura menyibukkan diri supaya terlihat punya kesibukan), aku menunggu karena terbiasa menepati janji. Jujur saja, kebiasaanku ini lebih sering merugikan. Semakin sulit menemukan orang yang memegang janjinya. Tapi tak mengapa, aku melakukannya karena memang sudah semestinya.

Saat memandang ke arah pukul 7, aku menemukan seorang gadis sedang duduk di sebuah bangku di seberang kafe. Sendirian, berpayung merah, dan mengenakan gaun hitam. Pemandangan kontras di tengah hujan deras. Kukira, gadis itu sedang menunggu seseorang. Mungkin kekasihnya. Kalau tidak, mana mungkin gadis secantik itu rela kedinginan di tengah hujan begini? Tiba-tiba, aku berharap dia senasib denganku agar aku mendapatkan teman berbincang.

Gadis itu berjalan menuju mejaku, menyapaku dengan hangat, lalu duduk tepat di sebelahku... Ah, anganku berkelana terlalu jauh. Gadis itu masih di duduk di bangkunya. Hujan pasti sudah merembes dan membasahi gaun hitamnya. Kasihan. Tapi mengapa aku mesti merasa kasihan? Nasibku tak kalah malangnya. Atau... aku perlu mengajaknya masuk ke dalam kafe yang hangat ini? Tapi ada kemungkinan dia akan menolakku. Jika demikian, pastilah aku merasa malu.

Caramel latte-ku sekarang benar-benar tandas. Gadis yang kutunggu entah berada di mana. Pesan-pesan yang kukirim tak berbalas. Puluhan panggilan juga tak membuahkan hasil. Menit dan jam berlalu sia-sia. Padahal, aku takkan tiba di kota ini jika bukan karena permintaan gadis itu−gadis yang berjanji akan menemuiku dengan sebuah jawaban.

Hujan belum reda. Bersabarlah, aku akan meneruskan ceritaku sedikit lagi. Sekarang aku benar-benar berpikir untuk menyapa gadis berpayung merah di arah pukul 7. Tapi, aku tak ingin menanggung risiko malu. Maka, aku melambai pada pramusaji untuk meminta bantuan. Setelah menuliskan pesan pada secarik kertas, aku menunggu sambil berdebar.

Saat pramusaji berjalan menuju gadis berpayung merah, aku menimbang-nimbang dalam hati, antara ragu dan sedikit menyesal. Sudah terlambat mencegah ketika pramusaji menyapa gadis itu dan menyerahkan pesanku. Gadis itu melirik ke arah kafe, matanya mencari-cari sosokku. Mereka berdua berbincang beberapa saat. Saat gadis itu beranjak dan mengikuti langkah pramusaji, aku nyaris melompat dari kursiku.

Gadis itu sekarang berjarak beberapa langkah dari mejaku. Pandanganku tertuju pada riasan pekat matanya serta warna merah menyala di bibirnya. Saat dia tiba di hadapanku, gaun hitam yang melekat basah di tubuhnya mengundang mataku menjelajahi lekuk tubuhnya.

“Boleh aku duduk?” sapanya merdu.

“Oh, ya. Silakan.”

Pramusaji yang bersamanya segera mengulurkan daftar menu. Gadis itu memesan espresso, sedangkan aku memesan secangkir macchiato.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline