Lihat ke Halaman Asli

Fitri Manalu

TERVERIFIKASI

Best Fiction (2016)

Tepi Laut

Diperbarui: 6 September 2016   20:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Ilustrasi: myshutterspeed.wordpress.com

Setiap kali aku berdiri di bibir jurang ketidakpercayaan, lelaki itu akan selalu merengkuhku dalam dekapannya. Ia akan menenangkanku, meyakinkan bahwa akulah yang terindah baginya. Terkadang sulit bagiku untuk memercayainya. Tapi entah mengapa, pada akhirnya aku akan takluk pada kata-katanya.

“Percayalah, jangan hiasi hatimu dengan prasangka,” ungkap lelaki itu selalu.

Biasanya, pada saat-saat seperti itu, ia akan mengajakku pergi ke tepi laut untuk memandangi ombak yang mendatangi hamparan pasir sebelum menjilati ujung-ujung jemari kaki kami. Kami hanya akan berdiri di tepian, karena lelaki itu sama sekali tak bisa berenang. Aku akan lebih banyak diam dan membiarkan keraguan mengombang-ambingkan hatiku yang bimbang. Bimbang karena menginginkan kasih sayangnya. Meskipun tahu, suatu hari kelak mungkin aku akan menuai sesal.

Dalam diamku, lelaki itu terus meyakinkanku tentang ketulusannya. Ia berjanji takkan pernah meninggalkanku. Tak peduli walau apa yang akan terjadi. Berulangkali demikian. Acapkali, aku merasa kata-katanya itu bukan ditujukan untukku. Mungkin lelaki itu sedang berusaha menyakinkan dirinya sendiri tentang keteguhan perasaannya. Itulah hal yang sempat terlintas dalam benakku. Namun, saat aku mengungkapkannya, lelaki itu malah menatapku dengan tatapan asing yang membuatku merasa bersalah. Maka, aku buru-buru mengenyahkan pikiranku itu sejauh mungkin.

Suatu ketika, aku mendapati lelaki itu sedang menelepon seorang perempuan. Sikapnya sungguh mesra. Hal ini terjadi untuk yang kesekiankalinya. Anehnya, ekpresinya biasa saja saat aku memergokinya. Parasku memerah diamuk cemburu. Namun, sedapat mungkin aku berjuang menahan letupannya.

“Siapa itu? Kekasihmu yang lain?” desisku geram.

“Tenanglah, bukan siapa-siapa. Hanya sahabatku.”

“Sahabat? Kepada semua sahabatmu kau bersikap begitu?”

“Memangnya kenapa?”

“Kenapa?” Mendadak aku kehilangan kata-kata. Pertanyaan lelaki itu membuatku merasa menjadi perempuan tolol.

“Kau terlalu larut dalam prasangka…” Lelaki itu menatapku prihatin. “Mari, kita pergi ke tepi laut, agar kau lebih tenang. Aroma laut yang segar akan membuat pikiranmu jernih kembali.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline