Lihat ke Halaman Asli

Fitri Manalu

TERVERIFIKASI

Best Fiction (2016)

Jejak Sunyi Biola Tua

Diperbarui: 24 Juli 2016   17:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Ilustrasi: elcah.deviantart.com

Lelaki itu masih berdiri di sana. Berjuang keras menuntaskan lengkingan nada-nada dari gesekan dawai biola tuanya di sebuah lorong sunyi. Semalam-malaman, sepasang matanya terjaga. Ia takkan tertidur sebelum menemukan nada yang dicarinya. Nada itu akan disimpannya baik-baik dalam bilik kenangan rahasia miliknya. Bila ia beruntung, suatu hari kelak nada itu akan menjelma menjadi harta karun untuk mereka yang memuja nada-nada itu dengan jiwanya.

Aku mengamati lelaki itu dengan sabar. Segala gerak-geriknya. Pun setiap air mukanya yang berubah-ubah. Seperti seorang pemuja yang tak ingin melewatkan sedetik pun pertunjukan sang maestro. Entah apa yang merasukiku, namun nada-nada yang tercipta menggiringku menuju kedamaian, menuntunku pada ketenangan dan keheningan tiada terbatas.

Selama hidupku, aku melihat berlusin-lusin pasang mata meneteskan air mata. Kanak-kanak yang kehilangan ibu, perempuan-perempuan yang menangis di belantara perang, lelaki-lelaki yang meratapi kekasihnya, serta sederet kepedihan lainnya. Seonggok kepahitan laksana sekam membara, berdesakan memenuhi beranda hatiku. Namun, nada-nada biola tua lelaki itu bagai obat penawar yang menyembuhkan luka. Memadamkan bara dalam iramanya yang meliuk-liuk indah dan menggetarkan.

Malam-malam senantiasa berlalu dan enggan pulang pada saat mereka bermula. Aku selalu bersembunyi di antara bayang-bayang kegelapan agar pandangan lelaki itu tak pernah menemukanku. Lalu suatu ketika, nada-nada itu berhenti di penghujung malam. Langkah-langkah terdengar menapaki lorong sunyi. Akhirnya, aku telah ditemukan.

Saat pandangan kami berbicara, aroma kepahitan menggetarkan udara dalam kebisuan. Aku berdoa agar lelaki itu segera menggesek dawai biola tuanya. Tapi, ia tak kunjung melakukannya. Sepasang kakiku goyah. Aku berlutut dan memohon padanya. Lelaki itu bergeming. Perlahan-lahan, berlusin-lusin pasang mata mulai menyeruak dalam kenanganku. Bulir-bulir hangat memberati pelupuk mataku. Ah... kenangan telah tiba untuk mengajakku pulang.

***

Tepian DanauMu, 24 Juli 2016




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline