Lihat ke Halaman Asli

Fitri Manalu

TERVERIFIKASI

Best Fiction (2016)

Kita, Kopi, dan Gerimis yang Runtuh

Diperbarui: 24 Maret 2016   18:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber ilustrasi: www.yangmuda.com"][/caption]

Kita, kopi dan gerimis yang runtuh. Ada rindu yang menguar dari cangkir yang belum tersentuh. Senja baru akan memulai waktu ketika irama tercipta di teras kayu tempat kita bertemu. Kebisuan terasa ngilu. Pendaran matamu menghadirkan ragu. Mencuatkan sebuah tanya yang bertalu. Akankah tibaku berakhir kelu?

Gelisah menari-nari di manik matamu. Jemarimu sesekali mengetuk meja. Kau membuang pandang ke jendela. Seakan menanti seseorang yang akan membawamu. Lalu kau bersenandung kecil, merapikan sweter putih yang membungkusmu sambil mengeluh tentang udara yang semakin membeku.

“Kau kedinginan?” Kalimat pertamaku seharusnya adalah: aku senang akhirnya kita bertemu. Tapi kau terlihat begitu rapuh, mengundang niatku untuk melindungimu.

“Sedikit,” ujarmu.

Aku menarik nafas. Meredam hasrat untuk merengkuhmu dalam pelukan. Kulepaskan jaket yang kukenakan. “Pakailah.”

“Terima kasih.”

Kau mengenakan jaket itu. Terlihat kebesaran di tubuhmu. Menggemaskan. Diam-diam aku tersenyum geli. “Bagaimana?”

“Lebih hangat.” 

Akhirnya kau tersenyum. Lebih menawan dari senyum di foto yang kuterima darimu. Kebisuan yang ngilu berangsur pergi dari kita. Mungkin, itulah sebabnya mengapa hatiku selalu terjamah rindu. Kau adalah bidadari yang menjelma nyata di hadapanku. “Minumlah kopimu sebelum dingin,” bujukku.

Kau menurut. Secangkir kopi berpindah ke bibirmu. Kau hirup perlahan dan berucap, “Kopi yang nikmat, seperti biasanya.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline