Lihat ke Halaman Asli

Fitri Manalu

TERVERIFIKASI

Best Fiction (2016)

Janji Kelingking Masa Lalu

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14139158921160994163

[caption id="attachment_368250" align="aligncenter" width="600" caption="Sumber Gambar: kaskus.co.id"][/caption]

***

Lagi-lagi kulihat semburat jingga di ujung mega. Sebelum aku turun di persimpangan sepi itu. Tepat di ujung kelokan tajam yang menuruni sebuah bukit kecil. Kabut baru saja turun meremang. Kubenahi lilitan syal sekedar menghangatkan tengkukku yang mulai disergap dingin senja.

Perasaan nostalgia menyelimutiku seketika. Saat melihat deretan bunga matahari di sepanjang pagar putih yang mengitari rumah kayu kecil berhiaskan rerumputan hijau membentang, hatiku membuncah hangat. Aku merasa disambut di tempat ini. Ya, aku telah kembali dari perjalananku panjangku.

Kudorong gerbang pagar perlahan. Suara berderit yang kurindukan terdengar. Nada yang tercipta dari gesekan engsel berkarat dimakan usia itu mengingatkanku pada masa kanak-kanak riang dari masa lalu. Ah… saat itu aku cuma seorang gadis remaja yang memiliki seorang sahabat dan sebuah janji. Sekarang, aku datang untuk menjemput janji itu.

Hanya sepi yang terlihat dari rumah mungil itu. Mungkin saja penghuninya sedang berada di belakang rumah. Separuh mengendap-ngendap aku mengitari rumah ke arah bagian belakang. Semoga kedatanganku menjadi kejutan manis baginya. Kurasa… aku akan menemukan dia di sana. Benar saja, itu pasti dia. Sedang duduk bersandar menikmati senja di sebuah kursi malas.

Sepasang matanya terpejam menikmati senja. Mungkin separuh tertidur. Atau juga separuh bermimpi. Kutelusuri wajah damai itu dengan hati bergemuruh. Gurat-gurat kedewasaan telah lama hadir di sana. Berapa lama sudah kami tak bertemu? Delapan tahun? Ah, tidak. Sepuluh tahun telah berlalu. Waktu telah merampas jejak-jejak kenangan begitu cepat. Lelaki di hadapanku ini sudah menjelma menjadi seseorang yang berbeda. Setidaknya, dibandingkan dari sosok lelaki remaja yang selalu melekat erat dalam bayanganku.

Aku memilih duduk diam di sampingnya. Rupanya dia masih terlena dan tak menyadari kehadiranku. Sahabat masa kecilnya yang dulu yang berdiam di bukit kecil sana. Sahabat yang memilih pergi untuk menggapai mimpi. Lalu mengucapkan perpisahan dengan saling menautkan janji. Janji kelingking.

“Berjanjilah kau akan kembali dan jadi pengantinku,” ucapnya dengan wajah merona. Dia─seorang lelaki remaja berusia lima belas tahun─mengucapkan hal itu padaku. Tentu saja sambil menggaruk-garuk kepalanya karena gugup.

“Aku pasti kembali. Aku janji,” ucapku tersipu malu.

Dia tersenyum padaku. Tak sedetikpun aku tak merindukan senyuman itu. Kenangan itu selalu berhasil mengisi sudut-sudut memoriku. Menjaganya utuh tetap berwarna. Meski belum sepenuhnya mengerti apa yang kami ucapkan masa itu, tapi kami berdua mempercayainya.

Mata terpejam itu sedikit bergerak-gerak. Jantungku mulai berdegup lebih kencang. Seperti apa kesannya saat melihatku nanti? Hatiku bertanya-tanya gelisah. Sebelum aku sempat membuat diriku tak terlihat gugup, sepasang mata itu sudah terbuka dan sepenuhnya mengarah padaku.

“Ka-mu? Luisa? Ini kamu?” Tatapan seolah tak percaya mengarah tepat padaku. Lalu menghujam hatiku, tepat di tengah-tengahnya.

“Ya, ini aku,” jawabku haru. Ingin rasanya aku menghambur memeluknya. Tapi aku berusaha untuk menahan diri.

Ekspresi yang tergores di wajahnya sulit kumaknai. Ada percikan gembira dan juga terkejut di sana. Tapi… mengapa sekilas aku melihat kepedihan?

Lengannya terjulur menyalamiku. Aku menyambutnya dengan hati bergetar. Saat jemariku berada dalam genggamannya, aku merasa telah meraih kenangan masa lalu kami kembali. Cukup lama kami saling menatap dalam diam. Sebelum ia melepaskan genggamannya dariku.

“Katakan padaku, apa yang membawamu kembali? Ceritakan padaku tentang mimpi dan negeri empat musimmu,” tanyanya hangat.

Seperti dulu. Dia selalu peduli dengan mimpiku untuk menjadi seorang penari. Sedangkan dia sendiri hanya ingin berada di sini. Mencintai tempat ini sepenuh hatinya. Sepenuh jiwanya.

“Seperti yang kamu lihat, aku nyaris tak ingat untuk kembali, “ jawabku tertawa getir. “Terlalu lama mengejar mimpi di sana membuatku hampir melupakanmu. Maafkan aku. Tapi ya… akhirnya aku berhasil juga menggapainya.”

Dia tertawa. “Selamat untukmu. Aku turut bahagia mendengarnya.”

Kami tertawa bersama. Berderai, seperti pada masa lalu. Kabut senja tak pernah terlihat seindah ini. Tapi… mengapa dia tak segera menanyakan soal janji? Kupikir, mungkin saja ia lupa. Rasanya tak apa bila aku sedikit mengingatkannya.

“Ramon, kamu masih ingat? Soal janji kita…” ucapku pelan.

Senyum yang tertinggal dari tawanya seakan sirna tiba-tiba. “Tentu aku masih ingat, Luisa. Itu janji sebelum kamu pergi.”

“Lalu?” tanyaku. Segumpal harapan memenuhi rongga dadaku. Tak sekalipun setelah sepuluh tahun berlalu, aku membiarkan perasaan lain tumbuh di sana. Selalu hanya dia. Janji kelingkingku.

Dia menarik nafas panjang. “Aku selalu menantikan pertemuan ini. Percayalah. Tapi, maaf… aku tak bisa menepati janji itu.”

Sebilah belati menyayat perih hatiku. Pedih. Sebenarnya, apa yang terjadi? Mengapa dia berkata demikian? Sekuat mungkin kutahan airmata yang mulai merembes basah di pelupuk mata.

Selagi kami larut dalam keheningan, seorang perempuan muncul menyapa dengan ramah. “Wah, ada tamu rupanya. Mengapa tak diajak masuk ke dalam, Pa? Udara mulai dingin.”

Jantungku berhenti untuk sesaat. Airmata yang akhirnya bergulir jatuh kuseka diam-diam dengan syal. Saat aku berusaha menata hatiku dari keterkejutan, lelaki yang duduk di sebelahku mengepalkan tangan. Berbagai gejolak perasaan tergambar jelas di wajahnya. Keadaannya jelas tak lebih baik dariku.

Aku bangkit berdiri mengulurkan tangan serta mengukir sebuah senyum. “Saya Luisa, teman Ramon sejak kecil. Rumah saya persis di atas bukit sana.”

“Oh, Luisa? Aku Raisa. Suami saya sering cerita tentang kamu, sahabat terbaiknya,” cerita perempuan itu riang.

Tentu, bisikku dalam hati. Dia pasti menceritakan tentang diriku padamu. Tapi… dia pasti takkan bercerita tentang janji kelingking…

“Mari, kita bicara di dalam saja,” ajak Raisa ramah.

Aku menggangguk lemah. Saat ini aku tak punya pilihan lain. Ramon juga hanya membisu. Tapi, sungguh aku terperanjat. Saat tiba-tiba Raisa membantu Ramon beranjak dari kursi malas untuk masuk ke dalam rumah.

“Ramon?” tanyaku membelalak nanar.

Sepasang mata itu menatapku berkaca. “Kamu mungkin belum tahu, setahun lalu aku mengalami kecelakaan. Sepasang kakiku cacat selamanya, Luisa. Aku selalu membutuhkan seseorang di sisiku. Karena itulah, janji kelingking…” Hanya sampai di sana. Kalimat itu tak pernah usai.

Mendengar penjelasan itu aku tercekat. Raisa memandangi kami bergantian penuh tanya. Kupalingkan wajahku. Kurasakan pipiku mulai bersimbah airmata. Mengapa aku terlambat kembali? Haruskah semua berakhir sepahit ini?

“Maaf, aku permisi sekarang,” ujarku buru-buru. Setengah berlari aku meninggalkan rumah mungil kayu itu. Lalu aku mulai berlari secepat yang aku bisa. Sejauh mungkin meninggalkan Ramon, melupakan janji kelingking masa lalu…

***

Samosir, 22 Oktober ’14 (Tepian DanauMu)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline