[caption id="attachment_381505" align="aligncenter" width="603" caption="Belajar bahasa asing di tempat kursus diperlukan manajemen program yang sistematis (ilustrasi http://cdn.klimg.com/merdeka.com)"][/caption]
Geliat minat masyarakat terhadap bahasa asing non-Inggris, di antaranya Jepang, Prancis, Korea, Mandarin, dan Jerman semakin tinggi. Tak ayal, kini banyak bermunculan kursus bahasa asing yang tidak hanya menawarkan bahasa Inggris. Namun, apa yang terjadi jika penawaran kursus bahasa asing hanya mengejar keuntungan dan “main potong” jam belajar?
Potensi kursus bahasa termasuk bisnis mumpuni. Para pengusaha dari pelbagai latar belakang pendidikan berbondong-bondong ikut bermain. Aroma keuntungan yang bakal diperoleh menari-nari manis. Dalam menjalankan suatu bisnis memang tak bisa dipersalahkan, keuntungan adalah tujuan utama.
Demi mengejar keuntungan, pemotongan tatap muka jam belajar jadi sasaran empuk. Pihak manajemen, terutama bagian pemasaran (marketing) hanya berperan cara memaksimalkan keuntungan. Keluhan atas ketidaknyamanan tersebut dirasakan beberapa teman yang berkecimpung di pendidikan bahasa, baik sebagai pengelola maupun pengajar.
Kursus suka-suka
Beberapa pengajar mengaku frustasi dengan pihak manajemen yang tidak ambil pusing soal kurikulum, silabus dan rencana ajar (lesson plan). Pihak manajemen yang notabene bukan orang berlatarbelakang pendidikan bahasa atau linguistik kerap tidak paham apa dan bagaimana kurikulum, silabus, dan rencana ajar.
Tanpa silabus dan rencana ajar, entah apa yang mau dibahas dalam setiap pertemuan. Padahal kursus bahasa asing tak ubahnya pendidikan formal yang wajib memerlukan ketiga komponen di atas.
Selain itu, pemahaman bagian pemasaran hanya merekrut klien sebanyak mungkin serta memaksimalisasi keuntungan. Dari untung dan untung itu, beberapa tempat kursus bahasa asing di bilangan Jakarta tak segan-segan menawarkan kursus secara fleksibel tanpa tingkatan (level) dan keterikatan jam belajar alias suka-suka wae lah.
Pemelajar kursus bebas masuk kapanpun; bebas ke luar-masuk kelas bahasa yang ingin diikuti tanpa tingkatan bahasa. Dengan catatan pemelajar membayar biaya kursus untuk setahun dan dapat mengikuti semua kelas bahasa asing yang ditawarkan. Kursus fleksibel seperti menganut sistem all you can eat (semua bebas ‘dimakan’).
Misal, satu kelas ada 10 orang sudah belajar membaca kalimat sederhana dalam bahasa Jepang, tiba-tiba masuk satu orang minta diajarkan baca huruf hiragana. Tentunya, kegiatan belajar bagi para pemelajar lain akan terhambat.
Para pengajar pun berkerut dahi, bagaimana caranya mengajarkan bahasa tanpa tingkatan dan kedisiplinan waktu? Pengajaran bahasa memiliki tingkatan masing-masing. Dari tingkat pemula, menengah, dan mahir. Ketiga jenis tingkat masih beranak-pinak dalam tingkatan-tingkatan tertentu.
Jika kursus fleksibel terus-menerus diterapkan, maka pencapaian hasil pemelajar tidak memuaskan. Pihak manajemen boleh saja bersikap lepas tangan, tapi pemelajar yang kritis akan merasakan rugi. Kegiatan pembelajaran dirasa tidak maksimal.
Korupsi waktu
Impian merenggut keuntungan besar tidak hanya datang dari pihak manajemen kursus, melainkan ditawari bantuan dari investor. Investor memberikan usulan berupa penurunan biaya masuk sekaligus pengurangan sesi tatap muka jam belajar.
Persoalan tersebut ditengarai salah seorang teman, sebut saja A. Ia bersama teman-teman lain sesama berlatarbelakang sastra merintis tempat kursus bahasa asing. Ilustrasi penawaran investor, sebagai berikut:
Kursus A menawarkan bahasa Jepang selama 3 bulan, 24 pertemuan per tingkat seharga Rp1.300.000. Menurut penghitungan investor, keuntungan yang diperoleh terlalu tipis. Oleh karena itu, diberi usulan kursus A; program bahasa Jepang dipecah menjadi dua waktu sehingga kelasnya menjadi 1,5 bulan per tingkat. Biaya “diturunkan” jadi Rp950.000.
Artinya, keuntungan bisa lebih besar. Namun, dilihat dari sisi pengajaran tidak cukup efektif karena beberapa bahasa non-Latin—seperti Jepang—si pemelajar harus diajarkan dulu cara baca-tulis huruf. Hal tersebut memakan waktu.
Pilihan menjadi dilematis, apakah menaikkan biaya dengan program awal atau mengikuti saran investor dengan “memotong” jam belajar. Secara implisit, “memotong” jam belajar berarti mengkorupsi waktu belajar bagi pemelajar. Rencana ajar yang akan dibuat bisa saja terlampau padat.
Pembelajaran per tingkat terkesan terburu-buru. Sasaran penguasaan kurang maksimal. Investor kurang paham, kemampuan menguasai bahasa asing tidak bisa instan. Waktu tatap muka tidak semestinya dikurangi.
Tekun dan sistematis
Belajar bahasa asing perlu ketekunan dan niat kuat. Cara belajar yang diterapkan harus sistematis. Para pengelola dan investor seyogianya memikirkan esensi dari tempat kursus yang dikelolanya. Ketidakpahaman mengatur kurikulum, silabus, dan rencana ajar berimbas pada kualitas pemelajar kursus.
Pemelajar pasti berharap kegiatan kursus mampu meningkatkan kemampuan berbahasa asing (selain bahasa Inggris). Di sisi lain, tujuan utama demi membuka peluang pemelajar menguasai bahasa asing yang diinginkannya ternodai.
Bisnis kursus bahasa asing sebaiknya tidak semata-mata memeroleh untung besar dan mengkorupsi waktu. Bukannya mengabaikan keuntungan, tapi sistem manajemen harus mampu dikontrol rapi dan bertanggungjawab agar tidak merugikan pemelajar.
Tentunya, tidak semua bisnis kursus bahasa asing dinilai buruk dari segi manajemennya. Sebagai calon pemelajar sebaiknya selektif dan kritis bila ingin mengikuti bisnis kursus bahasa asing. Pelajari program dan waktu yang ditawarkan dari tempat kursus tersebut. Jangan mudah terhanyut melihat biaya masuk yang sekiranya dianggap murah…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H