[caption id="" align="aligncenter" width="533" caption="Sumpah Pemuda bergema "][/caption] Hidup pemuda! Hidup mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia! Peringatan Sumpah Pemuda ke-84 tahun, tak lepas menggemakan masalah anti korupsi. Persoalan korupsi yang mendarah daging dan marak di kalangan para pejabat negara mendorong generasi muda, terutama mahasiswa menyuarakan anti korupsi, baik dalam bentuk diskusi publik hingga aksi turun ke jalan.
Pemberitaan korupsi di berbagai media massa dan kasus sidang tindak pidana korupsi (tipikor) yang belum tuntas bahkan permasalahannya makin panjang bak ular melingkar.
Kalau dipikir tentu kita jengah dan ada rasa bosan akan kasus korupsi yang makin melilit—tidak jelas ujungnya. Mahasiswa termasuk pilar penyambung lidah rakyat dan berjuang demi rakyat, tidak pernah lelah menyuarakan anti korupsi.
Korupsi dan citra bangsa Korupsi para pejabat negara amat merugikan citra bangsa ini. Uang rakyat dikorupsi, dibuat untuk kesenangan pribadi, hingga disalahgunakan demi meraup kekayaan lebih besar. Rakyat tidak bisa dibodohi, gaji para pejabat negara rasanya mampu membeli satu buah pulau atau lebih.
Lalu, mengapa uang rakyat pun dikorupsi? Satu pertanyaan fundamental yang memerlukan jawaban panjang. Korupsi turut menurunkan citra bangsa ini. Para pemimpin dan pejabat negara laiknya cermin kepribadian bangsa—meskipun sesungguhnya tidak mewakili kepribadian seluruh rakyat Indonesia.
Anak buah bergerak tergantung bagaimana kepemimpinan atasan. Citra pemimpin tidak baik, maka anak buah juga ikut merasakan imbasnya. Analogi tersebut bisa merefleksikan sebuah negara. Para pejabat negara yang korupsi, maka citra rakyat dan nama bangsa ini ikut terimbas tidak baik. Bukankah tidak adil seperti itu? Pejabat negara yang korupsi, rakyat menjadi korban. Uang rakyat yang harusnya dimanfaatkan untuk kepentingan negara dan kesejahteraan rakyat ‘dimakan’ demi kepentingan pribadi. Timbul kesenjangan sosial, rakyat dari kalangan bawah semakin menderita tatkala melihat para pejabat negara menikmati uang korupsi.
Ironis dan menyedihkan sekali! Dua fenomena bertolakbelakang, para pejabat yang kesenangan dan duduk nyaman di atas tumpukan uang, sementara rakyat hanya menyaksikan dengan mata kesedihan.
Toh, masih banyak rakyat Indonesia serba kekurangan dan hidup dengan segala kemelaratan, asalkan bisa makan sehari, sudah cukup. Tidakkah uang itu jusru berguna untuk membantu kehidupan rakyat tersebut, bukan ‘dimakan’ sendiri. Yang muda yang bergerak Suara anti korupsi dari berbagai kalangan, terutama mahasiswa terus didengungkan. Mahasiswa beraksi memakai ciri khas jaket masing-masing universitas; membawa pamflet, poster, hingga spanduk bertuliskan semangat anti korupsi. Mereka beraksi dan berorasi di bawah panas terik matahari, berjam-jam lamanya.
Tentu saja mereka beraksi agar suara anti korupsi didengar oleh para pejabat negara dan segala pihak yang terkait. Koruptor dijatuhi hukuman setimpal dan seadil-adilnya. Rakyat menanti keadilan dan supremasi hukum bagi para pejabat negara yang korupsi.
Perkembangan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani kasus korupsi telah disaksikan seluruh rakyat Indonesia. Sidang demi sidang diberitakan media massa. Keterbukaan informasi memacu kita berpikir kritis dalam menganalisis masalah.
Mahasiswa sebagai generasi muda dituntut ikut berpikir kritis atas permasalahan bangsa. Kemudian beraksi menyuarakan pemikiran-pemikiran bagi bangsa ini. Pemuda tidak diam! Mahasiswa tidak diam! Esensi Sumpah Pemuda anti korupsi bukan hanya menyadarkan kepekaan para koruptor dan pihak-pihak yang terlibat.
Seluruh rakyat Indonesia diharapkan membuka mata hati dan kasus korupsi menjadi pembelajaran penting dalam hidup. Kerugian korupsi melibatkan seluruh elemen bangsa ini. Korupsi merusak citra dan keberlangsungan masa depan bangsa. Kini pemuda—bukan mahasiswa saja harus bergerak.
Pemuda adalah pendobrak sekaligus pengubah bangsa. Para pemuda penggagas bangsa ini mampu mencetuskan Sumpah Pemuda untuk mempersatukan Indonesia. Pemuda harus punya tiang berdiri dan tidak mudah tergoyahkan. Korupsi mengakar dikarenakan tindakan itu ditiru oleh sebagian khalayak publik, baik muda maupun tua.
Korupsi dianggap sah dan sudah wajar. Namun, pemikiran itu harus diubah. Yang baik ditiru, yang buruk jangan ditiru. Ungkapan ini menjadi acuan penting untuk diingat dan diaplikasikan. Salah, bila kita berlomba-lomba ikut melakukan korupsi. Untuk itu, para pemuda bangsa jangan hanya menggembar-gemborkan anti korupsi, tapi aplikasikan juga dalam kehidupan sehari-hari.
Hal-hal kecil pun jangan sekali-kali mudah dikorupsi. Pendidikan dan etika moral yang dimiliki para pemuda bangsa harus mampu mengubah bangsa ini. Masa depan bangsa tanpa beragam kasus korupsi rasanya diimpikan oleh bangsa Indonesia. Kontribusi para pemuda dengan melakukan segala sesuatu sesuai kejujuran amat diharapkan menuju jalan terang bangsa ini.
Wahai, para pemuda, kini nakhoda dan kemudi, kalian yang pegang. Masa depan Indonesia yang bagaimana diciptakan, yang mampu dipertanggungjawabkan kepada para pemuda penggagas dan pendiri bangsa di alam sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H