Lihat ke Halaman Asli

Fitri Haryanti Harsono

TERVERIFIKASI

Jurnalis Kesehatan Liputan6.com 2016-2024

Aksi Mahasiswa, Pro Rakyat Tetapi Tidak Simpatik

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aksi Mahasiswa Tolak BBM via kabarkampus.com

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Aksi Mahasiswa Tolak BBM via kabarkampus.com"][/caption] "Mari turun ke jalan, kepung Gedung DPR MPR. Tolak kenaikan harga BBM. Mari kita kawal Sidang Paripurna DPR. Perjuangkan kepentingan rakyat, kalau bukan kita (mahasiswa) siapa lagi" Tulisan di atas merupakan serangkaian tulisan yang merebak di kampus melalui media spanduk, poster, baliho hingga pamflet. Mahasiswa begitu sensitif terhadap apa yang terjadi terkait kepentingan rakyat. Memperjuangkan rakyat itulah yang diserukan oleh seluruh elemen mahasiswa. Mahasiswa ibarat jalan perantara menyalurkan aspirasi rakyat kepada pemerintah. Kritik, saran, dan kecaman menolak BBM terus diperjuangkan oleh mahasiswa. Suara mahasiswa adalah suara rakyat... Di mana dan ke mana intelektual yang dimiliki mahasiswa? Status mahasiswa tentu berintelektual. Mahasiswa bergerak aktif dan berpikir kritis dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Segala persiapan demi menyuarakan satu komitmen diorganisir dengan baik. Spanduk, poster hingga orasi dengan pengeras suara telah siap. Teatrikal aksi tolak BBM pasti sudah dilatih dengan baik dan ide kreativitas yang matang. Inilah hasil kerja keras mahasiswa, terstruktur dengan rapi.

Keadaan yang miris terjadi ketika mahasiswa berorasi di lapangan. Demo yang berakhir anarkis dan saling bentrok dengan aparat polisi. Psikologis mahasiswa yang masih labil dan emosi tinggi merangsek dalam sikap demo anarkis. Suara mahasiswa yang mengatakan bahwa kami hanya menyuarakan apa yang rakyat rasakan tetapi (kami) dihadang dan dihadapkan pada tank-tank besar sehingga membuat kami mencapai puncak emosi. Emosi yang panas berujung membuat kami bertindak. Kami (mahasiswa) rasa polisi terlalu bertindak represif.

Hal itulah yang disuarakan oleh mahasiswa sehingga anarkis (terpaksa) terjadi. Kenyataan yang demikian dapat dikatakan bahwa intelektual mahasiswa tidak sepenuhnya terjamin tatkala melakukan aksi demo di lapangan. Apalagi ada pihak-pihak yang memprovokasi mahasiswa demi kepentingan sendiri. Semakin mahasiswa terprovokasi, semakin jauh kriteria intelektual yang dimiliki mahasiswa. Tidak berpikir jernih dan rasional tetapi lebih mengandalkan kekuatan emosi. Pro rakyat tetapi tidak simpatik Aksi mahasiswa menyuarakan kepentingan rakyat itu baik. Masalah yang dihadapi ketika di lapangan adalah aksi mahasiswa seringkali berujung pada tindak anarkis, kekerasan, merusak dan mengganggu kenyamanan publik. Anarkis dan kekerasan bahwa sikap mahasiswa melenceng jauh dari etika berunjuk rasa yang seharusnya bisa tertib. Merusak bahwa apapun yang ada di depan mahasiswa dirusak bahkan dibakar. Kenyamanan publik terganggu karena jalan-jalan tertentu ditutup dan dialihkan,masyarakat sekitar ketakutan sehingga toko-toko ditutup bahkan beberapa waktu lalu akses menuju stasiun Gambir ditutup. Sejujurnya menyaksikan aksi mahasiswa yang seperti ini membuat saya tidak simpatik. Bagaimana pemerintah dan wakil-wakil rakyat menghargai dan menyimak apa yang mahasiswa suarakan, kalau beraksi secara anarkis dan merusak. Tentu hal ini amat merugikan. Suara mahasiswa adalah suara rakyat tetapi aksi mahasiswa jauh dari kelayakan dan kepatutan dalam bersikap. Salah siapa? Mahasiswa atau polisi? Atas dasar kecaman menolak BBM yang berakhir kisruh dan bentrok, lalu siapa yang harus disalahkan. Mahasiswa mengatakan bahwa polisi yang bersalah karena telah bertindak represif. Rasanya polisi tidak akan bertindak kalau mahasiswa beraksi dengan tertib. Ketika aksi mahasiswa sudah mencapai batas waktu yang telah ditetapkan, seharusnya mahasiswa bubar tetapi kenyataannya mahasiswa masih bertahan. Selain itu, bila mahasiswa bertindak terlalu jauh seperti melempar batu dan tindakan yang merusak. Tak ayal polisi pun mengatasi dan membubarkan mahasiswa dengan tindakan seperti menyemprotkan gas air mata. Salahkah polisi dalam hal ini? Menilik semua ini dapat disimpulkan bahwa mahasiswa boleh saja bertindak anarkis tetapi polisi tidak boleh bertindak represif. Saya rasa ini tidak adil, polisi juga berhak membela keselamatannya. Hal yang penting bukan siapa yang bersalah dan disalahkan tetapi alangkah baiknya cara untuk membela diri dalam melakukan aksi sesuai dengan ketentuan tata tertib baik dari pihak mahasiswa maupun polisi yang mengamankan aksi.

Aksi anarkis mahasiswa yang tidak simpatik ini hanya membuat mahasiswa menjadi korban dalam memperjuangkan suara rakyat. Bukan penghargaan dan penghormatan berorasi yang diperoleh tetapi luka-luka, memar, dan pukulan-pukulan yang justru meninggalkan bekas di tubuh serta bukti sarana publik yang dirusak oleh mahasiswa.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline