[caption id="" align="aligncenter" width="616" caption="Pompeii (2014) Ilustrasi via fansided.com"][/caption] Bagi Anda yang mempelajari sejarah Peradaban Yunani-Romawi Kuno mungkin sedikit kecewa atas film Pompeii besutan sutradara Paul WS Anderson yang dirilis 21 Februari 2014. Usai menonton film Pompeii, saya berpendapat bahwa kisah film tersebut bukan seluruhnya diangkat berdasarkan sejarah, melainkan hanya berlatar kota Pompeii dan Gunung Vesuvius saja.
Meskipun begitu film Pompeii tetap menancapkan taringnya sekaligus berhasil memuaskan mata penonton. Efek visualisasi dan soundtrack begitu hidup, terkesan tidak dibuat-buat. Gempa bumi, letusan gunung, hujan api, hujan batu, abu vulkanik, awan panas, hingga pijaran kepundan dari Gunung Vesuvius membuat tengkuk berdiri.
Kemarahan gunung menimbulkan tsunami sehingga menghantam kota Pompeii, lalu orang-orang berlarian, berteriak, dan berusaha menyelamatkan diri. Gambaran menakutkan dan mengerikan betapa kepanikan sedemikan menyergap. Sebagai penutup, awan panas merangsek dan menutupi seluruh kota Pompeii, tidak ada satu pun manusia yang selamat.
Berkesan di awal
Latar film Pompeii pada zaman Kekaisaran Romawi tahun 79 SM, yang dibuka dengan adegan pembantaian suku penunggang kuda. Dari pembantaian tersebut, hanya satu orang yang hidup, seorang anak bernama Milo (Kit Harington). Ia adalah satu-satunya orang terakhir dari suku penunggang kuda.
Selamat dari pembantaian tragis, bukan berarti bisa melarikan diri dengan bebas, Milo pun tertangkap. Tatkala dewasa, Milo dijadikan budak sebagai gladiator di kota Pompeii. Ia pun dipanggil dengan nama Celt. Tatapan mata dan hatinya ternyata tertambat pada Cassia (Emily Browning), putri dari penguasa kota Pompeii.
Suguhan di awal kisah bisa dibilang mampu memikat penonton. Adegan pembantaian dan masa lalu Milo yang gelap menjadikan ia tumbuh kuat dan tak terkalahkan di area pertarungan gladiator. Para gladiator lain ingin mengadu kekuatan dengannya.
Pertemuan Milo dengan sang putri nan cantik menjadi bumbu cinta yang dilema. Betapa strata sosial memengaruhi kisah cinta mereka. Milo berstatus budak, sementara Cassia dari kalangan bangsawan. Sekiranya di film ini menyiratkan bahwa cinta tidak mengenal strata.
Hasrat
Puncak dari kisah di film Pompeii bermula dari Senator Corvus (Kiefer Sutherland) yang datang berinvestasi ke Pompeii. Sayangnya, hal tersebut hanya sekadar alasan sederhana saja, sebenarnya ia sangat berhasrat menjadikan Cassia sebagai istrinya. Kecantikan Cassia membuatnya terpesona.
Perlakuan Cassia terhadap Milo yang begitu istimewa dibandingkan budak lain ternyata diketahui Senator Corvus. Perasaan cinta Cassia kepada Milo membuat Senator Corvus marah, lantas merencanakan pertarungan gladiator di luar aturan yang telah ditetapkan.
Kebebasan
[caption id="" align="aligncenter" width="502" caption="Pertarungan gladiator akhir. (Tengah) Atticus (Adewale Akinnuoye-Agbaje). Ilustrasi via movies.msn.com"][/caption]
Para gladiator yang bertarung sampai mati dilatarbelakangi diri dan jiwa mereka ingin memperoleh kebebasan. Bebas sebagai budak, merdeka sebagai individu. Semakin banyak memenangi pertarungan, semakin pula kesempatan bebas diperoleh dengan cepat.
Namun, kekuasaan dan ketamakan dari penguasa tidaklah berjalan mulus-mulus saja. Pertarungan gladiator terakhir antara Milo dan Atticus (Adewale Akinnuoye-Agbaje) telah dicampur-tangankan Senator Corvus yang ingin melenyapkan Milo. Atticus, seorang barbar berkulit hitam yang ingin bebas termasuk teman satu sel Milo.
Pertarungan gladiator pun berubah rencana, seluruh gladiator di rantai di tengah-tengah area pertarungan. Lalu pasukan pemanah dan berpedang menyerbu para gladiator. Adegan yang cukup mendebarkan sebab hal tersebut ibarat pembantaian terhadap gladiator, bukan pertarungan sesungguhnya.
Lenyap
[caption id="" align="aligncenter" width="660" caption="Milo (Kit Harington) dan Cassia (Emily Browning), Pompeii yang hancur (Ilustrasi via foxnews.com)"] [/caption]
Sebagai penutup yang memukau di akhir film Pompeii. Milo berhasil membalas dendam dengan pembantai sukunya. Ia berusaha menyelamatkan Cassia yang dikurung di villa. Sementara itu Gunung Vesuvius siap meletus, muntahan hujan api, lava pijar, dan abu vulkanik mengungkung Pompeii.
Orang-orang berlarian ke pelabuhan dan tidak berhasil sebab kapal-kapal ikut dihantam tsunami. Seluruh warga Pompeii, termasuk Senator Corvus tewas disapu abu letusan gunung. Atticus pun mati sebagai orang yang bebas. Kisah cinta Milo dan Cassia pun berhenti di bukit, lalu keduanya tewas.
Dari film Pompeii, kita bisa merefleksikan bahwa kekuasaan, ketamakan, keserakahan, dendam, benci, dan cinta akan lenyap tatkala Tuhan menjentikkan jarinya lewat letusan Gunung Vesuvius. Dalam film ini, suara tanda-tanda kemarahan gunung telah diketahui warga Pompeii lewat gempa bumi dan asap hitam di atas kepundan gunung. Tetapi tidak digubris, mereka tetap berhura-hura menyaksikan pertarungan gladiator.
Tetap memikat
Menilik sejarah Pompeii memang bukan sepenuhnya tecermin dalam adegan dan pemandangan yang dikisahkan di film Pompeii. Perbedaan yang hadir memunculkan sisi kreativitas sang sutradara, Paul WS Anderson.
Namun, satu hal yang menggongkan keduanya, yaitu kisah berakhir pada bencana letusan gunung yang mahadahsyat. Akhir dari peradaban kota Pompeii. Lenyap.
Sapuan abu pijar membuncah dan menutupi layar, perlahan-lahan muncul sepasang patung batu berbentuk manusia tengah berciuman. Ya, itulah Milo dan Cassia sebagai penutup adegan film ini. Secara keseluruhan, Pompeii tetap memikat ditonton, segala dramaturgi manusia pun berujung bencana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H