[caption id="attachment_321720" align="aligncenter" width="640" caption="Diskusi Nyai Dasima 15 April 2014 di Bentara Budaya Jakarta. (Ki-ka) JJ Rizal (Sejarawan), Ibnu Wahyudi (Dosen FIB UI), Moderator Yahya Andi Saputra (Lembaga Kebudayaan Betawi) [Dok: Pribadi"]"][/caption]
“Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata nyai (bisa) diartikan sebagai panggilan baik untuk perempuan yang lebih tua. Namun, wacana kolonial mendekonstruksikan nyaiitu perempuan peliharaan alias gundik.”
Sepenggal pengantar dari sejarawan JJ Rizal membuka diskusi buku “Nyai Dasima” yang terdiri dari dua tulisan karya G Francis dan SM Ardan di Bentara Budaya Jakarta, Selasa, 15 April 2014. Pembicara dalam diskusi Nyai Dasima, yaitu JJ Rizal dan Ibnu Wahyudi (Dosen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI), sedangkan Yahya Andi Saputra dari Lembaga Kebudayaan Betawi bertindak selaku moderator.
Karya Nyai Dasima yang ditulis G Francis terbit pada 1896, kemudian SM Ardan berhasil membuat versi terbaru pada 1960. Versi cerita Nyai Dasima oleh G Francis dan SM Ardan tidaklah sama, kedua penulis menyajikan pemikiran masing-masing yang bertolak belakang. Diskusi buku Nyai Dasima lebih condong memaparkan pemaknaan kata nyai dan penggunaan nyai di era sekarang.
Dua sisi
Penggunaan kata nyai telah dipandang sebagai (panggilan) rendah, jorok, tanpa kebudayaan, dan perhatian hanya (tertuju) pada berahi saja. Kata nyai pun melintasi zaman, perlawanan yang berupaya menggambarkan sosok nyai punya kekuatan dan kehormatan sebagai perempuan.
Pencitraan kebangkitan sosok nyai itulah yang disajikan SM Ardan dalam versi terbaru cerita Nyai DasimaSelain itu, Pramoedya Ananta Toer melalui tokoh Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia (1980) berhasil menunjukkan sosok nyai yang memiliki dua sisi.
Nyai Ontosoroh digambarkan sebagai “perempuan modern”, status gundik tidak membuatnya merasa rendah diri—rendahan—melainkan ia bangkit menjadi nyonya besar yang sukses mengembangkan usaha. Gambaran tentang nyai tidak seluruhnya jelek, tetapi menjadi nyai ibarat panggilan yang menguatkan jiwa untuk berani menghadapi kehidupan.
Sebagai pelopor
Nyai Dasima. Sebuah nama yang tidak asing lagi di jajaran karya sastra Indonesia. Hikayat Nyai Dasima mengawali cerita-cerita tentang nyai lainnya. Artinya, Nyai Dasima yang ditulis G Francis sebagai pelopor yang melahirkan versi cerita tentang nyai dalam berbagai bentuk, seperti puisi, syair, lagi ataupun film.
Ibnu mengatakan cerita Nyai Dasima karya G Francis merupakan karya sastra modern yang ditulis dalam bahasa latin—dalam hal ini bahasa Melayu—juga tidak anonim. Terlepas dari persoalan anti-Islam, novel Nyai Dasima adalah tonggak pertama novel modern.
Transformasi
Cerita Nyai Dasima yang dikatakan berasal dari Kahuripan membuat kita bertanya-tanya, kebenaran tokoh tersebut. Bagaimanapun secara ideologis benar atau tidak tokoh membawa pesan. Adanya konstruksi nama begitu bernilai khusus yang membawa peran besar dalam kehidupan.
Melalui sebuah nama, sekiranya kita bisa membayangkan peristiwa yang terjadi pada zaman itu. Garis besar situasi yang tengah tren atau menjadi perbincangan, baik dari permasalahan sosial budaya, ekonomi, maupun kehidupan sehari-hari yang dekat dengan masyarakat. Istilah nyai pun menjadi daya tarik panggilan pada zaman itu.
Kepopuleran nama Nyai Dasima bertransformasi menjadi sajian bentuk. Berawal dari sebuah nama, Nyai Dasima “turun tanah” menjadi bentuk film, serial, sinetron, tarian, serta beragam syair, puisi, dan lagu. Popularitas nama Nyai Dasima turut memeriahkan jagad raya hiburan Tanah Air.
“Siapapun boleh menciptakan Nyai Dasima (sesuai versi masing-masing), sebuah cerita yang keluar dari kisah percintaan, tragedi, dan eksotisme,” ungkap Ibnu.
Jalan cerita yang bertentangan dengan perjalanan hidup Nyai Dasima sah-sah saja dibuat. Karya sastra mampu dinilai sebagai indikator dari karya fiksi. Sebuah karya sastra telah melalui proses seleksi, baik dari segi sudut pandang atau ideologi tertentu,
[caption id="attachment_321723" align="aligncenter" width="640" caption="Sesi tanya-jawab (Dok: Pribadi)"]
[/caption]
Menanggapi penggunaan kata Nyai Dasima yang berkaitan dengan unsur mistis suatu tempat tertentu, dipercayai, dan menjadi buah bibir. Sebab terlampau jauh dan terkesan “melenceng” dari makna Nyai Dasima yang sesungguhnya, Ibnu mengungkapkan cerita yang sudah melegenda kadang-kadang tidak penting lagi disalahgunakan, yang penting apakah menjadi semacam ruang tentang apa yang ingin disampaikan.
[caption id="attachment_321724" align="aligncenter" width="640" caption="Peserta yang hadir (Dok: Pribadi)"]
[/caption]
Selain diangkat dalam berbagai cerita dan hiburan visual, nama Nyai Dasima melanglangbuana dalam ranah kuliner. Nyai Dasima digunakan untuk nama makanan dan minuman, dari kuliner bernuansa tradisional sampai modern. Penyematan makanan dan minuman dengan nama Nyai Dasima mungkin bisa ditemukan di daeran lain, tidak hanya terbatas di Tanah Betawi saja.
Misal, Nyai Dasima dijumpai pada nama roti di BreadTalk, makanan/minuman di Kafe Batavia juga minuman Nyai Dasima di restoran Bandar Jakarta. Bahkan ada pula tempat makan mulai kaki lima hingga sekelas restoran yang menggunakan nama Nyai Dasima, Nyai Dasima Restaurant.
[caption id="attachment_321725" align="aligncenter" width="640" caption="Foto bersama usai acara, sayangnya, tidak semua peserta ikut berfoto sebab ada yang langsung meninggalkan tempat acara (Dok: Pribadi)"]
[/caption]
Betapa populer nama Nyai Dasima, dari segi bunyi memang enak didengar. Nyai Dasima pun “menjejakkan dirinya” di era kekinian dengan berbagai wujud yang unik.Sebuah bukti dan tanda, eksistensi Nyai Dasima tidak hanya dikenal di lingkup sastra dan sejarah saja, melainkan melintasi ragam ruang, menjadi konsumsi publik nan menggelitik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H