[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Gedung Pusat Pelayanan Mahasiswa Terpadu UI (Foto via www.ui.ac.id)"][/caption] Sandal termasuk alas kaki yang paling nyaman dipakai, terkesan santai dan tidak terlalu formalitas layaknya sepatu. Zona nyaman sandal membuat siapapun seakan bebas memakainya, tanpa menyadari titik-titik vital kondisi yang dihadapinya. Bagi sebagian orang, persoalan sandal bisa dibilang sepele, tidak begitu penting dibahas, istilahnya “suka-suka pribadi sajalah.”
Namun, istilah di atas terbantahkan saat kita berada di lingkungan kampus. Penampilan menjadi salah satu penilaian akan kualitas diri, baik dari pakaian, aksesoris, sampai alas kaki yang dipakai. Sebuah cerminan pribadi seberapa pantas keberadaan diri berada di alam pendidikan, etika kesopanan dalam berpenampilan secara langsung maupun tidak langsung diajarkan.
Tak terduga
Saya tidak menyangka soal sandal bisa membuat wajah merona merah, bukan karena jatuh cinta atau terpesona terhadap suatu hal yang memikat hati, melainkan rasa diri menahan malu gara-gara berurusan dengan alas kaki tersebut. Bagi orang yang bersangkutan pastilah malu setengah mati, apalagi ada orang lain yang mendengar dan menyaksikannya.
Kejadian menarik dan unik membuat langkah kaki saya berjalan perlahan, telinga langsung berdiri tegak bak telinga kelinci, pandangan mata fokus tertuju pada dua orang yang sedang berbicara. Pada Jumat (9/5) siang kemarin, saya mengambil legalisasi ijazah dan salinan transkrip nilai akademik di Pusat Pelayanan Mahasiswa Terpadu UI (PPMT UI), lokasi berdekatan dengan Gedung Rektorat UI.
Betapa lega saat memasuki pintu masuk PPMT UI, kesejukan AC langsung menerpa tubuh. Cuaca panas dan terik di luar membuat sekujur tubuh keringatan, jaket bercorak batik yang saya kenakan sedikit demi sedikit berkurang nuansa panasnya matahari. Sejenak saya bisa berleha-leha melupakan sengatan panas matahari yang menemani perjalanan menuju tempat ini.
Perkara sandal
Sejuknya AC ternyata bukan satu-satunya penyambutan yang melegakan, langkah kaki yang belum mencapai sepuluh langkah dari pintu masuk dikejutkan dengan suara seorang Bapak petugas di Bagian Kemahasiswaan. Ia berbicara dengan suara cukup keras bernada tegas sehingga pandangan saya mampu teralihkan kepadanya.
Sebuah kalimat yang tidak pernah saya dengar selama empat setengah tahun menempuh kuliah. Kalimat yang menyentakkan hati sekaligus membuat otak terbuka dengan sadar. Kalimat yang menyengat bagai setrum.
“Tolong diperhatikan penampilannya. Jangan pakai sandal, lain kali tidak akan dilayani!”
Deghhh… Sepersekian detik telinga saya menangkap kalimat tersebut, rasa hati terkejut bukan main sekaligus perasaan bangga dan hormat kepada sang Bapak. Seorang perempuan berjilbab yang tengah dilayani terkait berkas-berkas yang dibutuhkan, ditegur dengan kalimat tegas di atas.
Entah perempuan itu alumni atau masih berstatus mahasiswa UI, saya perhatikan penampilannya. Ia mengenakan jilbab berwarna biru, pun begitu dengan baju dan rok berwarna senada dengan jilbabnya. Tas ransel berwarna putih menghiasi punggungnya. Tatkala melihat alas kaki yang dipakainya membuat geleng-geleng kepala.
Alas kaki berupa sandal berhak tinggi (high heels) berwarna putih melingkar manis pada kedua kakinya. Sandal high heels bertali yang berwarna putih seperti tas ranselnya memang terkesan serasi. Sayang sekali, kesan manis dan serasi dari sandal berhak tinggi tidak selamanya mengundang simpatik, malah bisa berujung tragedi.
Malu
Titik utama dari perkara sandal yang dipakai perempuan berjilbab tersebut, yakni ia tidak mampu memantaskan diri dalam kondisi yang dihadapinya alias salah kostum. Sebuah teguran hebat yang mengingatkan diri bahwa kita harus tahu “di mana” juga “dengan siapa” akan bertatap muka.
Saat kita membutuhkan bantuan mengurus perihal akademik dan berkas-berkas lain, tentu diharapkan pelayanan yang baik dan memuaskan yang didambakan. Sadar bahwa kita berada di lingkup kampus, penampilan yang rapi dilengkapi sepatu, bukan sandal.
Seyogianya, kita becermin melihat sang Bapak sebagai petugas pelayanan mahasiswa telah berpakaian rapi dengan sepatu, siap menyambut mahasiswa atau alumni mengurus berkas-berkas, sementara penampilan orang yang dilayaninya sungguh tidak sopan.
Malu. Kata pamungkas “pemukul” kesadaran.
Pembelajaran berharga bagi para mahasiswa maupun alumni yang notabene mengaku atau melihat dirinya sendiri bergelar “sandal users”. Pantaskan diri menjejak “rumah” atau almamater. Hargai dan hormati bagian pelayanan mahasiswa bila “masih punya urusan” dengan berpenampilan rapi pakai sepatu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H