Lihat ke Halaman Asli

Fitri Hartawati

Universitas Jambi

Malam Indah yang Malang

Diperbarui: 12 Mei 2023   14:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

MALAM INDAH YANG MALANG
Di langit nan kelam menyembul sebuah sabit sang bulan dalam setengah badannya. Teguh terdiam seakan menantikan takdir sang penguasanya. Tak tampak awan berjalan beriring mengawalnya, hanya sendiri dalam sunyi yang senyap, suara alam diterpa desiran angin melagukan khidmat yang dalam. Suara angin kembali berdesir lirih menyentuh dedaunan muda yang tampak rapuh, tua sebelum waktunya dan berguguran jatuh ke tanah, tersapu lagi dan terus tersapu oleh si angin malam tadi, kembali terulang dalam putaran waktu yang terasa semakin sedikit.

Nyala lilin telah padam, angin itu yang memainkannya, lembut dan syahdu terasa, Suara riang sang bocah telah hilang ditelan malam, kermbang api pun telah menjadi seonggok kawat yang hitam, habis termakan sang api. Sang bulan telah berjalan ke arah barat, perkasanya ia dalam gantungan langit malam, ada kesejukan dan gelisah tiada henti, memanggil hati yang terasa semakin gelisah menjemput sang esok yang kan dating menjelang, dalam hitungan waktu yang terus bergulir. Dua malam kesenangan telah dilalui penuh tawa, dua malam yang membangkitkan rindu tak berkesudahan, seakan terus ada dalam bayangan hidup anak manusía. 

Malam semakin dingin dan sunyi, suara takbir dan nga itu telah hilang, angin telah membawaya dalam pelucan hati yang haru. Hati pualam tak bemahkota terasa semakin kecil dan menciut, membayangkan hari-hari yang penuh dengan kesedihan akan kernbali datang, kemunafikan batin kembali tercuat dalam tekanan sang pemimpin yang penuh dengan beribu permintaan. Gelisahkah adanya? Sebuah senyuman lelah terbias dalam tidurnya yang manja, badannya yang mungil memeluk guling. seakan tak kuasa, ada sebatas kenangan tak terlupakan di hari itu, kala tangis dan tawanya menghiasi hari-hari yang terlalu cepat berganti.

Wajah mungil penuh rindu kan selalu hadir dalam benaknya, rasa gemas telah tergantikan hanya dengan pelukan manjanya kala semua permintaan polosnya telah terpenuhi, hidupkan batin nan sunyi, hidupkan hati yang kosong tiada arti dan tujuan yang nyata. Detik sang waktu selalu terdengar, menggapai hari yang lain akan kembali hadir, takdir hidup telah dimainkan, keinginan alam akan terus dipaksakan ada, datang silih berganti, entah sampai kapan hidup akan terus dijalani. Memandang kembali sang bulan di langit malam yang sejuk, seakan impian dan kenangan masa kecil ada di situ, bak layaknya sebuah layar sinema yang membentang di depan mata, bulan yang kini dilihat tak jauh berbeda dengan apa yang dilihat dan dirasakan pada saat kaki-kaki ini masih bertelanjang dan mungil adanva. Larian dan kejaran teman sebaya dalam cahaya bulan masih terngiang di telinga. Terasa manis untuk dikenang, terasa indah segalanya. Malam adalah saat waktu untuk mengenane kembali terungkapkan nyata, sunyinya batin terasa kian sunyi, seakan beban hidup terus saja ada dan bertambah, tak seperti dulu kala saat waktu itu dihabiskan untuk bermain bersama sebaya, riang dan bahagia adanya, Tapi itu dulu, saat kita masih bermain dengan lugunya, tak ada resah dan gelisah yang akan menghampiri, walau untuk saat ini.

Gadis mungilku telah terlelap, di ranjang yang hangat tangannya meneluk guling kesayangannya, wajah polosnya menyiratkan kepolosan pikirannya yang selalu ingin bermain, telah cukup waktuku anakku, telah habis hari-hari kita untuk terus bersama, besok kau pun kembali bermain sendiri, bercerita pada teman-teman bonekamu, dan menantikan kembali ayah untuk satu waktu minggu ke muka, bahwa kita kembali dapat bermain, tertawa bersama, berjalan berdua melihat sawah-sawah itu, melihat kerbau yang sedang mandi di sungai kecil itu, dan ayah akan bercerita tentang hidup ini. Dan ayah akan bercerita adamu tentang perjalanan alam, bergulir dan berubah seakan tiada pasti. Dan kau pun akan terus mendengarkan ceritaku, tentu saja dengan dibalut pelukan yang manja dan hangat, hanya kita berdua, berdua dalam kesunyian, berdua dalam kenangan, ada dan terus nyata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline