Lihat ke Halaman Asli

BCA Dalam Sengketa Pajak

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14308900421615865903

[caption id="attachment_364640" align="aligncenter" width="530" caption="Pajak BCA - www.viva.co.id"][/caption]

Sengketa Pajak BCA berawal dari penerbitan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak Tahun 2002 yang dilakukan oleh DJP (Direktorat Jenderal Pajak) untuk Bank BCA. Pada pemeriksaan tersebut, ternyata ada item yang menjadi koreksi yaitu terkait laba fiska BCA. Akan tetapi pihak BCA tidak setuju dengan koreksi laba fiskal tersebut. Kronologi soal sengketa pajak BCA bisa dilihat di artikel Pajak BCA – Membaca Fakta Sengketa Pajak BCA.

BCA melaporkan bahwa laba fiskal mereka ada Rp 174 M, sedangkan pihak DJP menganggap bahwa laba fiskal BCA adalah Rp 6,7 T. Menurut DJP, ada koreksi senilai Rp 5,77 T yang dianggap sebagai penghapusan piutang macet. DJP menilai bahwa penghapusan piutang macet telah menyebabkan beban BCA berkurang sehingga laba fiskal BCA menjadi Rp 6,7 T. Terkait hal tersebut, BCA pun diwajibkan untuk membayar pajak sebesar Rp 375 M.

Akan tetapi, BCA menganggap bahwa koreksi senilai Rp 5,77 T tersebut bukan merupakan penghapusan piutang macet melainkan pengalihan piutang macet. BCA yang ketika itu termasuk ke dalam kategori BTO (Bank Take Over) mengalihkan piutang macetnya ke BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional senilai Rp 5,77 T dengan landasan dari Instruksi Menteri dan Gubernur BI.

BCA menganggap bahwa pengalihan piutang macet tersebut tidak menyebabkan kas BCA bertambah sehingga tidak mungkin laba fiskal BCA menjadi Rp 6,7 T dan BCA tidak harus membayar pajak Rp 375 M. Oleh karena itu, BCA mengajukan keberatan atas pajak 375 M dan dikabulkan oleh Hadi Poernomo yang ketika itu menjabat sebagai Dirjen Pajak. BCA pun dianggap telah merugikan negara karena tidak mau membayar pajak Rp 375 M.

Piutang macet BCA yang dilaihkan ke BPPN ternyata berhasil ditagih oleh BPPN ke para debitur. Dari penagihan tersebut, BPPN berhasil mendapatkan Rp 3,29 T. BCA yang ketika itu termasuk ke dalam kategori BTO tidak mendapatkan bagian dari Rp 3,29 T tersebut. Jadi, akibat adanya pengalihan piutang macet BCA, BPPN (Negara) telah mendapatkan pemasukan sebesar Rp 3,29 T. Pengalihan piutang macet BCA ini justru telah menguntungkan negara dan telah membuat BCA rugi 3,29 T.

Selanjutnya, pengabulan yang dilakukan Hadi Poernomo juga mengakibatkan Hadi Poernomo dijadikan tersangka oleh KPK karena dianggap menguntungkan pihak BCA dan merugikan negara. Hadi Poernomo dianggap telah membuat negara tidak mendapatkan pemasukan sebesar Rp 375 M. Padahal sengketa pajak BCA ini telah membuat negara mendapatkan pemasukan sebesar Rp 3,29 T.

Langkah yang dilakukan oleh KPK sebenarnya bisa dianggap sebagai sesuatu yang tidak sesuai. Dalam hukum pajak, sanksi yang berlaku adalah administrasi sehingga tidak bisa dibawa ke ranah pidana korupsi. Hal ini disampaikan oleh Profesor Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Unpad. Penjelasan Profesor Romli tentang sengketa pajak BCA bisa diliat di artikel Pajak BCA – Kasus BCA di Tengah Pusaran Polemik.

Jadi bisa disimpulkan bahwa sengketa pajak BCA ini sebenarnya tidak merugikan negara karena negara telah mendapatkan Rp 3,29 T yang jumlahnya jauh lebih besar dari Rp 375 M. Justru BCA yang telah dirugikan karena tidak mendapatkan Rp 3,29 T bahkan sebagian kecil dari jumlah tersebut pun BCA tidak mendapatkannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline