Lihat ke Halaman Asli

[Cermin] So Soon

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Galaksi berdiri di tengah ruangan yang sengaja dibiarkan tanpa penerang. Supaya dia bisa menyembunyikan tangisan yang meleleh di kedua belah pipinya. “Jadi laki-laki harus kuat!” Kalimat yang diingatnya itu justru membuat kedua kakinya kehilangan tenaga. Luruh ke lantai dengan isak yang tak tidak lagi malu-malu disimpannya hingga membuat dadanya seakan mau meledak.

“Kenapa harus dia, Tuhan?”

Setelah sekian lama menahan diri untuk menggugat karena tahu itu tak pantas, dia akhirnya bertanya.

Tak ada jawaban.

Tidak akan pernah ada jawaban lantang.

Hanya waktu dan penerimaan yang membuatnya mengerti, mengapa dia harus pergi begitu cepat. Sebelum puas mengecapi bahagia bersamanya.

Tapi tak ada ruang untuk mengerti di dalam benak juga pikirannya. Galaksi yang ditinggal pergi mulai merana. Direngkuh kesepian yang membuatnya kehilangan satu keyakinan: cepat atau lambat, setiap yang hidup pasti akan mati.

***

Adzan subuh berkumandang dari masjid di ujung gang. Galaksi masih membeku di lantai dingin di dalam rumahnya yang sunyi. Tak ada lagi dia yang membangunkannya dengan bisikan sayang. Menarik tangannya ketika dia lebih memilih memeluk guling. Menyibak selimutnya saat dinginnya udara membuatnya enggan beranjak dari tempat tidur.

Keriuhan di awal hari yang membuatnya rindu setengah mati.

Galaksi bergelung, berselimut hening yang menyakitkan. Mengabaikan panggilan penuh cinta yang bahkan melebihi cinta yang dia berikan untuknya. Dia menutup matanya rapat-rapat, mengamini rasa kantuk yang baru datang setelah semalaman dia dibiarkan terjaga sendirian.

***

Dia mengira kesedihan itu sepenuhnya utuh miliknya.

“Tidak akan ada bedanya, siapa yang pergi lebih dulu.”

“Jelas ada bedanya,” sanggah Galaksi. Mengurai pelukannya dari pundak ringkih yang semakin hari semakin menambah kekhawatirannya. “Lebih baik aku yang pergi lebih dulu.”

Dia tersenyum. Menahan mulutnya untuk berkata bahwa dia tidak sanggup ditinggal pergi. Tuhan menjawab doanya. Karena itulah dia berusaha tak menangisi vonis yang dia ketahui tiga bulan yang lalu. Meski akhirnya airmata itu tumpah ruah di balik pintu kamar mandi yang dikuncinya rapat-rapat.

“Tuhan sudah memilihku. Waktunya pun sudah ditentukan.” Kali ini dia tidak ingin mengalah. Esok lusa tak akan ada waktu lagi untuk bertengkar.

“Tidak ada yang tahu sampai itu benar-benar terjadi,” jawab Galaksi berdiri dari duduknya dengan hati kesal. “Setidaknya tunjukkan sedikit keengganan berpisah dariku.”

Dia tersenyum, sekali lagi. Begini lebih baik. Sepatah kata tidak rela hanya akan memberatkan hati yang tengah bersiap untuk melepaskan.

“Perpisahan kita hanya sementara....”

Dia menghentikan kalimatnya ketika Galaksi melangkah menjauh meninggalkannya. Dia menghela napas panjang. Seuntai doa kembali dia rapalkan. Lapangkan hatinya, Tuhan.

****end****

:: Based on Maher Zain's Song - So Soon ....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline