Di zaman Facebook dan Twitter seperti sekarang, saya rasa hanya sedikit orang yang masih punya sahabat pena. Saya juga tidak yakin generasi yang lahir di tahun 2000-an nantinya akan tahu cara menulis surat ataupun pergi ke kantor pos. Dulu saya pernah punya sahabat pena yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia, dari Sumatra sampai Papua—Irian Jaya pada saat itu. Namun saya tidak ingat mengapa dan sejak kapan kami tidak berkirim surat lagi. Waktu muda dulu saya senang berkirim surat mungkin karena ketika saya masih duduk di bangku SD, di mata pelajaran bahasa Inggris—yang bukunya keluaran Malaysia—ada bab Pen Pals atau Sahabat Pena. Dalam bab Pen Pals diajarkan cara menulis surat, bagaimana menumpahkan pikiran ke dalam tulisan, pemilihan kata, dan menyusun kalimat. Banyak yang diberikan dari buku itu, tapi saya tidak tahu apakah di buku itu masih ada bab Pen Pals atau tidak, secara tidak banyak lagi orang yang punya sahabat pena.
Saya tahu frasa "Sincerely Yours" sebagai salam penutup sebuah surat dari bab Pen Pals dari buku bahasa Inggris keluaran Malaysia itu. Sincerely diartikan sebagai "dengan tulus", di mana kita menulis sebuah surat dengan kata-kata yang berasal dari hati. Makanya dulu surat menjadi pilihan populer untuk mengungkapkan perasaan atau pikiran seseorang. Misalnya untuk menyampaikan kabar pada orang tua yang tinggal berjauhan atau untuk menyatakan cinta. Karena itulah surat-surat yang ditulis tangan dengan tulus akan mampu membuat orang yang membacanya menjadi terpengaruh perasaan hatinya. Kadang tidak sedikit orang yang menangis setelah membaca sepucuk surat. Surat yang tulus—sincere.
Secara etimologi, sincerely—dari kata sincere—berasal dari bahasa Latin sincerus yang artinya bersih atau murni. Kemudian ada juga yang mengartikan sincere sebagai "tanpa lilin", berasal dari kata sine yang artinya "tanpa" dan cera yang artinya "lilin". Dalam bahasa Inggris, sincere diartikan "without wax".
Ceritanya berawal ketika pada masa itu banyak pemahat di Roma atau Yunani yang menggunakan wax atau lilin bila terjadi salah pahat. Dalam buku The Lost Symbol karya Dan Brown disebutkan hal ini terjadi sejak zaman Michaelangelo, seorang pelukis, pemahat, arsitek, penyair, dan insinyur zaman Renaissance dari Italia. Pada saat itu, para pemahat menyembunyikan cacat-cacat pada karya mereka dengan mengoleskan lilin panas ke dalam celah-celahnya, lalu melapisi lilin itu dengan serbuk batu. Oleh karena itu, metode menggunakan lilin untuk menutupi cacat-cacat dianggap sebagai penipuan, dan semua pahatan tanpa lilin menjadi karya seni yang sincere atau jujur.
Di zaman kuno dulu, para pemahat menjual patung-patung karya mereka tidak di dalam gedung galeri, tetapi di pasar ataupun di pinggir jalan. Bagi yang tidak jeli, akan sulit untuk membedakan mana patung tanpa lilin dan mana patung yang sudah berlilin. Tapi ketika musim panas tiba, lilin itu akan mencair dan terlihatlah cacatnya.
Dari cerita tersebut bisa diambil nilai moralnya bahwa jika keadaan sedang cool, akan mudah bagi kita untuk berpura-pura dan mengontrol segalanya menjadi baik-baik saja, dan biasanya kitapun akan dapat bersikap dengan sangat baik. Namun saat keadaan memanas, terbukalah semuanya. Karena sepandai-pandainya kita menyembunyikan sesuatu, maka suatu hari akan terungkap juga.
Tanpa lilin,
Fitrie
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H