Lihat ke Halaman Asli

Dua Hari sebelum Tsunami

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Baru dua hari berlalu, ketika aku (terpaksa) melepasmu. Melepasmu untuk selamanya. Melepasmu untuk tak lagi menjadi milikku. Melepasmu untuk bersanding dengan perempuan itu.

Hari itu hari kepulanganmu. Kau meminta bertemu denganku dan aku pun datang dengan segenap rindu. Ya, hampir dua tahun sejak kepergianmu untuk menuntut ilmu ke Benua Biru. Dan tak pernah sekalipun kau pulang untuk menuntaskan rindumu padaku.

Tapi apa yang kudapat sungguh diluar dugaanku. Bukan rindu yang kautuntaskan saat bertemu denganku, melainkan perpisahan yang tiba-tiba kau ajukan. Dan aku tak memiliki kesempatan untuk mengajukan keberatan. Bagaimana mau mengajukan keberatan, jika perpisahan yang kauminta itu karena kau akan menikahi perempuan itu. Perempuan berkulit putih, bermata coklat, berambut ikal, yang ternyata telah mengisi hatimu hampir selama kau jauh dariku. Perempuan yang katamu bersamanya kau lebih menemukan kebahagiaan dan arti hidup daripada saat kau bersamaku. Perempuan yang meskipun berbeda budaya tapi kau bilang sanggup menerima dan menyesuaikan dengan budayamu, budaya kita. Kau bahkan seperti tak menganggapku ada ketika dengan berapi-apinya kau ceritakan tentangnya.

Dan yang paling menyakitkan, kau sampaikan semua itu hanya dua hari menjelang pernikahanmu dengannya. Ya, kau bukan baru pulang ke negeri kita, tapi sebaliknya, kau sudah akan kembali ke Benua Biru, benua baru’mu, untuk menjalani hari bahagiamu dengannya.

Ikhlas?! Tentu saja aku tidak. Tapi aku tak hendak menahanmu, seperti aku tak hendak menahan airmataku. Aku juga tak hendak mendebatmu, karena aku tak tau apa yang harus kukatakan untuk itu. Pun aku juga tak hendak memuntahkan amarahku padamu, karena aku tau itu tak akan bisa merubah keputusanmu. Yang aku tau hanya satu, bahwa aku sudah kehilanganmu. Dan aku juga sangat tahu, bahwa harapanku pun ikut menghilang bersama kepergianmu.

Sudah dua hari ini kuhabiskan sepanjang waktuku di pantai. Tempat yang begitu kucintai, bahkan semenjak sebelum aku pernah menghirup oksigen yang kudapat dengan cuma-cuma di muka bumi ini. Tempat dimana aku memulai hidup, pun bercita-cita untuk mengakhirinya pula disana. Tempat dimana aku mengenal orang tua yang penuh mengasihiku, pun saat terakhir aku merasakan hembusan nafas mereka.

Dan disinilah, di pantai inilah, ketika bumi ini seakan gemetar, memuntahkan kemarahannya atas sakit yang kau berikan padaku, seketika itu pula aku merasakan gemuruh yang teramat sangat memenuhi seluruh ruang di dadaku. Tapi yang kurasakan adalah bahagia yang meletup-letup, ketika kulihat kau datang lagi untukku. Kau datang dengan jas pengantin putih yang membuatmu tampak makin gagah dan menawan seluruh rasaku. Kau datang untuk menjemputku sebagai mempelai perempuanmu. Kau datang bersama awan putih dari tengah samudra, yang menggulung membubung tinggi ke angkasa. Dan aku berlari dengan seluruh kekuatan yang kupunya untuk menyambutmu.

Aku memelukmu, ketika basah kurasakan erat memelukku. Aku bahagia, merasakan berputar, berdesing, menderu-deru sampai seperti tak terkendali melewati segala sesuatu, menabrak segala yang ada di depan kita, menyeret semua yang kita temui, memporakporandakan seluruh yang terlewati, dengan sepenuh cinta.

Ah, kau memang benar-benar gagah dan mempesona dengan jas pengantin putih yang kau kenakan. Dan sebentar lagi kita akan bersanding disana, di pelaminan serba putih itu.

Hei, tapi siapa perempuan itu?! Kenapa dia yang berjalan menuju ke arahmu?! Lalu bagaimana dengan aku?!

Dan, hei.. Kenapa aku tak berada di sampingmu?! Kenapa aku malah terbang tak memijak bumi dan hanya memandangmu?! Kenapa aku….

Ah, sekarang baru kusadari, tsunami itu telah menggulungku bersama segala kesedihan yang kupunya. Kemudian mengantarku kemari untuk terakhir kalinya melihatmu bahagia.

Baiklah, aku ikhlas untukmu. Untuk kebahagiaanmu. Dan untuk cintaku padamu, yang tak akan pernah lagi mengharap balas. Ya, memang akan lebih baik untuk aku ikhlas.

Dan aku pun melangkah pergi. Kembali ke pantaiku yang telah tak indah lagi. Tapi bagiku, disana tetaplah tempat terindahku. Tempat aku datang, pun tempat aku kembali.

inspired by japan’s earthquake & tsunami, 11’03’11

pray for people there, pray for all of us!!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline