Lihat ke Halaman Asli

Jejak yang Menemukan Kembalian (Bagian 2)

Diperbarui: 29 Oktober 2024   17:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari-hari setelah mengetahui kabar tentang kondisinya, rasanya seperti berada di ambang jurang. Kekhawatiran yang berbaur dengan kerinduan, membuat setiap detik terasa lebih berat. Aku menunggu, berharap setiap pesan yang kukirim akan dibalas, atau setidaknya memberikan tanda bahwa dia baik-baik saja. Namun, hening. Seolah dunia kami telah terputus oleh kabut yang tak dapat kutembus.

Beberapa hari lalu, aku akhirnya memberanikan diri untuk menghubunginya lagi. Mungkin kali ini dia sudah lebih tenang, pikirku. Namun, pesan yang kutulis dengan hati-hati itu tetap tidak berjawab. Rasa rindu yang semakin menumpuk, beralih menjadi rasa cemas yang menusuk. Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia benar-benar membutuhkan ruang dan waktu, ataukah ini pertanda ada sesuatu yang lebih buruk?

Selang tiga hari kemudian, aku memutuskan untuk menghubungi ayahnya lagi, meski ada rasa ragu dalam diriku. Aku tahu aku mungkin mengganggu, tapi kekhawatiranku sudah terlalu besar. Aku hanya ingin memastikan keadaannya. Ayahnya, dengan nada yang tenang, memintaku untuk menghubungi ibunya. "Dia lebih sering berhubungan dengan ibunya," katanya. Itu membuatku berpikir sejenak, lalu kuberanikan diri untuk menghubungi ibunya.

Aku tidak pernah membayangkan akan berada dalam situasi ini---menghubungi orang tuanya, bertanya tentang dia, saat dirinya sendiri memilih diam. Tapi aku tahu, terkadang orang membutuhkan waktu lebih lama untuk memproses perasaannya, apalagi setelah mengalami trauma. Aku hanya ingin menunjukkan bahwa aku peduli, bahwa aku di sini, menunggunya dengan kesabaran yang bisa kugali dari hatiku yang paling dalam.

Setelah beberapa kali bertukar pesan, ibunya akhirnya setuju untuk bertemu denganku. Rasanya campur aduk, antara gugup dan berharap. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi atau apa yang akan dibicarakan. Namun, aku tahu ini adalah langkah yang harus kuambil. Siapa tahu, pertemuan ini bisa membantuku lebih memahami keadaannya dan apa yang bisa kulakukan untuknya.

Setelah pertemuan pertama di rumahnya, aku sempat beberapa kali bertemu lagi dengan ibunya. Ada saja alasan untuk berkunjung dan membantu menyelesaikan pekerjaan kecil yang dibutuhkan di sana. Di tengah proses ini, aku menemukan kenyamanan yang aneh---rasanya seperti ada yang menghubungkanku lebih dekat dengan dirinya, meski bukan dengannya langsung, melainkan melalui keluarganya. Hubungan dengan ibunya mulai terjalin dengan tenang, meskipun tetap ada jarak dan rasa hormat yang tidak biasa. Mungkin ini adalah hikmah di balik semua yang sedang terjadi: bahwa meski dia jauh, aku bisa mengenal sisi lain dari hidupnya, meski tak sepenuhnya terasa nyata.

Namun, meski begitu, rasa khawatir, penasaran, dan rindu tetap datang menyesakkan. Dia masih tak memberiku kabar sedikit pun. Hari-hari berlalu, dan seberapa sibuk pun aku mencoba menjadi, setiap malam terasa sama---aku kembali teringat padanya. Lama-lama rasa lelah mulai merasuk. Aku mencoba mematuhi saran orang-orang, untuk tidak memikirkannya terlalu keras, untuk mencari kegiatan agar pikiran bisa berpaling. Tapi setiap kali kesibukan mereda, pikiranku otomatis kembali padanya, seolah tak ada jeda untuk benar-benar melupakan.

Pertanyaan-pertanyaan muncul dan terus bertambah. Mengapa semua ini terasa begitu janggal? Ke mana dia pergi, dan mengapa dia tak pernah memberi kabar? Banyak orang di sekitarku menyarankan untuk menjauh darinya, namun aku tak tahu pasti alasan mereka. Mungkinkah mereka tahu sesuatu yang tak ku ketahui? Semakin aku mencoba memahami, semakin bingung rasanya. Pertanyaan-pertanyaan berkecamuk, mencari jawaban yang tak kunjung tiba.

Di tengah kebingungan itu, datang kabar yang menghantam hatiku seperti badai. Aku mendengar bahwa dia memiliki hubungan dengan wanita lain selama ini. Wanita itu, yang katanya sudah cukup lama bersamanya, bahkan memiliki andil dalam menemukan keberadaannya saat kejadian hipnotis itu terjadi. Wanita itu meminta bantuan teman-temannya untuk melacak dan menjemputnya. Sebuah kenyataan yang mengejutkan---bahwa ada seseorang lain yang tahu di mana dia berada, sementara aku ditinggalkan dalam ketidakpastian. Dan yang lebih menyakitkan, dia akhirnya menghubungi wanita itu untuk mengakhiri hubungan mereka, setelah semua yang terjadi.

Dan di tengah semua ini, aku tetap di sini, dengan segala pertanyaan yang membelenggu dan perasaan yang tak berbalas. Mengapa aku tidak diberi penjelasan yang sama? Mengapa aku dibiarkan sendirian, dengan harapan yang menggantung di udara, sementara dia memilih memberikan kejelasan pada orang lain?

Aku hanya ingin tahu, *mengapa aku?* Mengapa aku dibiarkan seperti ini---berdiri sendirian di batas keraguan tanpa satu pun jawaban yang bisa kupegang erat?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline