Namanya adalah Arya. Dia adalah guru yang dikenal rajin dan serba bisa di sekolahnya. Dia selalu tersenyum ketika memberikan bantuan kepada kawan-kawannya yang kesulitan, bahkan rela menghabiskan waktu berjam-jam untuk membantu mereka yang meminta tolong. Kemampuannya di bidang teknologi membuat Arya kerap menjadi andalan saat ada pelatihan atau proyek dari dinas pendidikan. Ketika Arya dipercaya menjadi fasilitator dalam pelatihan guru, beberapa rekannya mulai merasa iri.
Di balik senyum dan sapaan ramah mereka, tersimpan rencana jahat yang perlahan-lahan mulai mereka bangun. Mereka mulai berkoloni, membicarakan rencana untuk menghancurkan Arya secara diam-diam. Kabar angin beredar, bahwa kesuksesan Arya dianggap sebagai ancaman, bukan inspirasi. Dalam diam, beberapa dari mereka mulai bertindak.
Suatu hari, ketika Arya tengah mempersiapkan materi pelatihan penting yang dipercayakan padanya oleh dinas, salah satu rekannya diam-diam masuk ke ruang kerjanya. Dengan hati-hati, dia menghapus beberapa file penting dari laptop Arya. Ketika Arya menyadari bahwa file-file tersebut hilang, wajahnya pucat. Namun, dia tak menuduh siapa pun dan berusaha tetap tenang. "Mungkin hanya masalah teknis," pikirnya, sambil berusaha memulihkan data-data yang hilang.
Namun, itu hanyalah permulaan. Salah satu rekannya yang lain, Sinta, selalu tampak peduli. Dia sering menghampiri Arya dan menawarkan bantuan, seolah-olah tulus ingin membantunya menyelesaikan pekerjaannya. Arya pun percaya padanya, menceritakan berbagai rencana dan strategi yang akan dilakukannya untuk kegiatan pelatihan berikutnya. Namun, di belakangnya, Sinta memanfaatkan informasi itu untuk memutarbalikkan fakta, membuat seolah-olah Arya hanya memanfaatkan posisinya demi keuntungan pribadi.
Saat Arya dipercaya menjadi fasilitator oleh dinas untuk kedua kalinya, tuduhan lain pun muncul. Mereka menuduhnya sering meninggalkan kelas dan tidak bertanggung jawab terhadap tugas-tugasnya di sekolah. Beberapa guru mulai mengeluh, berbisik-bisik di ruang guru, menggosipkan Arya yang dianggap tidak lagi peduli dengan murid-muridnya. Mereka mengadu pada kepala sekolah, memaksa Arya untuk menjelaskan tindakannya di hadapan seluruh staf. Arya berusaha menjelaskan, bahwa tugasnya sebagai fasilitator justru untuk membawa kemajuan bagi sekolah mereka, namun suara-suara sumbang itu terus menghujani setiap penjelasannya.
Setiap keberhasilan Arya dianggap sebagai ancaman, dan setiap kegagalannya diperbesar menjadi kelemahan. Lambat laun, reputasi Arya di sekolah mulai runtuh. Beberapa muridnya bahkan mulai menjauh, termakan gosip yang disebarkan oleh para guru yang iri padanya. Kepala sekolah, yang semula mendukungnya, mulai meragukan kemampuan Arya, tak lagi memberinya kepercayaan yang sama seperti dulu.
Arya mulai merasa terasing, sendirian di antara kawan-kawan yang dulu ia percaya. Tekanan demi tekanan terus datang hingga akhirnya, suatu hari, dinas pendidikan memutuskan untuk menunjuk orang lain sebagai fasilitator. Arya merasa dunianya runtuh, bukan karena dia tak dipercaya lagi, tetapi karena pengkhianatan datang dari mereka yang pernah dibantunya. Di balik senyum kawan-kawan yang seolah mendukung, tersimpan niat jahat yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Dengan hati yang patah, Arya memutuskan untuk meninggalkan sekolah itu. Dia pergi dengan kepala tegak, meski hatinya terluka. Dia tahu, penghianatan tak akan pernah bisa dimenangkan dengan kebencian. Maka, dia memilih diam dan meninggalkan segala sesuatu di belakangnya, mencari tempat di mana kebaikannya dihargai dan kemampuannya diapresiasi tanpa rasa iri.
Hari-hari berlalu, dan kabar tentang Arya mulai memudar di sekolah itu. Namun, bagi mereka yang pernah mengkhianatinya, ada sesuatu yang tersisa---rasa bersalah yang tak akan pernah bisa hilang. Sementara itu, Arya menemukan tempat baru, di mana dia bisa tumbuh tanpa harus takut dihadang pengkhianatan dari kawan-kawan yang tak setia.
Di sekolah barunya, Arya kembali menjadi dirinya sendiri. Tetap rajin, tetap membantu, dan tetap tersenyum. Karena baginya, dunia tak akan berubah hanya karena beberapa orang yang mencoba menghancurkan. Ia percaya, selama ia tetap setia pada kebaikan, keadilan akan datang pada waktunya.