Lihat ke Halaman Asli

Rahasia

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Luan menatap lembut wajah Su yang tertidur pulas. Tampak garis-garis keletihan di wajah itu, Luan tahu betapa tak mudahnya menjadi Ibu Rumah Tangga. Su harus mengerjakan urusan rumah tangga sendirian. Luan pernah menawarkan seorang Asisten Rumah Tangga pada Su, tapi Su menolak. Ia ingin mengelola rumah mungil mereka dengan kedua tangannya. Dua putri cantik telah lahir dari pernikahan itu.

***

Nay dengan sigap menyiapkan makan malam untuk keluarga kecilnya. Si kecil telah merengek minta didahulukan dan Nay tentu tak tega jika harus membiarkan jagoan kecilnya itu menunggu terlalu lama. Lom menunggu gilirannya dengan sabar. Ia tahu Nay seorang ibu dan istri yang cekatan. Bagi Lom, Nay adalah segalanya. Nay, sosok pendiam yang selalu mengerti Lom dan hanya keluar rumah seperlunya. Lom memang tak menyukai wanita yang terlalu banyak bicara dan sering keluar rumah tanpa tujuan.

***

Anak-anak semakin besar, jagoan kecil Nay sudah masuk usia sekolah. Begitupun kedua putri Luan. Kedua keluarga itu menjalani kehidupan dengan baik, hanya saja masih ada sesuatu yang masih belum bisa mereka berikan pada pasangan masing-masing. Dan Luan ingin mencari jejak Nay.

***

Nay tertegun. Sebuah permintaan pertemanan di jejaring sosialnya memerlukan konfirmasi. Ragu, ketika ia melihat foto profil –Luan dengan dua orang anak perempuan. Luan, masa lalu Nay. Dan ia memasang foto keluarga di foto sampulnya, tentu siapa saja akan tahu bahwa dialah pemilik akun itu. Setelah menimbang, Nay memutuskan untuk mengkonfirmasi.

“Putramu tampan,” sapa Luan

“Dia mewarisi ketampanan ayahnya. Kau punya dua orang putri?”

“Benar. Mereka adalah anak-anak yang ceria dan riang, seperti ibunya.”

Lalu, cerita mereka berlanjut pada memori masa lalu.

“Apakah kau mencintai suamimu?”

“Aku tak harus mencintai untuk bisa hidup bersama Lom. Bagaimana denganmu?”

“Su adalah wanita terindah. Hanya saja, cinta kami tak saling menyentuh.”

***

Bunyi musik menghentak. Tak ada yang lebih membahagiakan bagi Nay selain melihat jagoan kecilnya telah bermetamorfosa menjadi seorang pria dewasa, bersanding dengan seorang wanita cantik. Lalu, cucu-cucu Nay lahir. Ia semakin bahagia dengan panggilan Nini.

***

“Su meninggal dua hari yang lalu,” Luan kembali on setelah dua hari tak ditemui Nay di dunia maya mereka.

“Aku turut berduka.”

“Bagaimana kabar suamimu?”

“Lom, baik.Ia adalah orang yang sangat memperhatikan kesehatannya.”

“Syukurlah.”

***

Nay merasa berdosa pada Lom. Ia telah mengkhianati Lom selama dua puluh lima tahun. Dua puluh lima tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menyimpan sebuah rahasia. Dan Nay takut jika nanti Lom seperti Su yang meninggal sebelum Luan sempat meminta maaf. Nay hanya ingin meminta maaf pada Lom. Dan tak ingin membawa rahasia ini sampai ke kubur dan menjadi hantu gentayangan yang merasa bersalah.

“Aku ingin minta maaf.” Nay memberanikan diri. Lom mengernyitkan keningnya.

“Apa kau pernah berbuat salah?”

“Ya, dan aku merasa bersalah.”

“Kalau begitu, ceritakan.”

“Aku mencintai Luan.”

“Aku tahu. Dia masa lalumu.”

“Tapi kami bertemu lagi di dunia maya dua puluh lima tahun lalu dan berkomunikasi hingga hari ini.”

Lom memandang Nay tak berkedip, ia ingin sekali marah, lalu menceraikan Nay dengan alasan perselingkuhan.

“Tapi, kami tak pernah bertemu muka, Lom. Sungguh. Aku sama sekali tak ingin melukaimu dengan diam-diam bertemu dirinya. Aku hanya ingin menikah sekali saja. Dan itu sudah denganmu.”

Diam.

“Aku tahu kau marah, Lom. Dan aku tak layak dimaafkan.”

Nay bangkit dari duduknya.

“Kau tahu, aku ingin sekali marah lalu menceraikanmu. Tapi, aku tak bisa.”

Nay mendekat dan bersimpuh di hadapan Lom. Sejak itu, Nay tak lagi membuka jejaring sosialnya, dunia yang telah mempertemukannya kembali dengan Luan. Ia tak ingin lagi menyakiti hati Lom. Dan usia membuat kesehatan Lom semakin menurun. Nay setia merawat Lom hingga hari duka itu datang.

“Kau tampak sangat berduka.” Seorang teman berbelasungkawa pada Nay.

“Tentu saja, sebab Lom adalah pemilik tubuhku,” lirih Nay tak terdengar.

***

“Lom meninggal, karena aku“

“Maksudmu?”

“ Aku memberitahu Lom”

“Itu lebih baik, aku menanggung perasaan bersalah pada Su. Seandainya aku bisa jujur lebih awal.”

“Mungkin lebih baik jika Su tak pernah tahu,”

Diam.

“Minggu depan aku ingin ke Danau. Kau masih ingat tempat itu?”

“Tentu saja, Luan. Aku yang merekomendasikan tempat itu untuk kita kunjungi dulu.”

***

Angin berhembus sepoi, menciptakan riak-riak kecil. Danau itu ramai pada hari libur. Di dermaga, tampak Luan dan Nay memandangi air danau itu, bayangan mereka bergoyang di dalam air.

“Kita telah menua oleh waktu.”

“Tapi, waktu tahu kapan kita harus bertemu.”

Nay bersandar pada bahu Luan yang menggenggam erat tangannya. Mereka tak peduli pada siapapun. Dan, waktu pun berhenti. (***)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline