Lihat ke Halaman Asli

Representatif DPR sebagai Nomina Protektor dalam Menjamin Kebebasan Masyarakat

Diperbarui: 8 Oktober 2019   00:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ibu dari anak yang ditangkap karena membakar lahan untuk berladang sempat menggadaikan rumahnya karena tidak mempunyai uang untuk makan. Pembakar lahan di desa Muara Musu Timur kecamatan Rambah Hilir ini sudah diamankan polres Rohul lebih kurang satu bulan yang lalu. 

Adapun IW (21) seorang petani yang hendak membuka ladang di area tanah milik warga setempat. Menurut IK (48),  Ibu dari Iw mengaku tanah tersebut dipinjamnya dari SM yang hendak membuka kebun sawit. Sehingga SM meminjamkan tanah tersebut kepada IK sebagai tempat berladang terlebih dahulu.

"Iya, kita meminjam tanah itu untuk membuka ladang. dan karena kebiasaan orang kita memorun (membakar dengan sistem menumpuk-numpukkan kayu kesatu tempat dan membakarnya). 

IK mengaku lahan tersebut dibakar dalam 3 kali pembakaran dengan selisih waktu yang berbeda. Pembakaran pertama dibakar pada Juni 2019, dan kedua dibakar pada Juli 2019 serta pembakaran ketiga pada Agustus 2019. Naas cerita, pembakaran ketiga IW ditangkap pihak Polsek Rambah Hilir. " 

Kami kira dengan membakar sedikit nggak akan dipenjara. Karena orang kitapun kalau berladangkan biasanya dibakar," ungkap IK. IK juga memaparkan bahwa hutan yang dibakar tidak sampai dua hektar dan pembakaran tidak dibakar sekaligus melainkan tiga kali pembakaran.IK mengaku sedih dan sering menangis bila mengingat anaknya masuk penjara. Mengingat IW adalah tulang punggung keluarga tersebut setelah ia berpisah dengan suaminya.

"Itu anak saya sekaligus tulang punggung saya, kalau tidak ada dia. Darimana saya dapat makan. Sedangkan saya tinggal sendiri dirumah" jelas IK sambil meneteskan air mata. 

Untuk saat ini IK  juga telah menggadaikan rumahnya sebesar dua juta rupiah untuk kebutuhan rumah tangganya. "Saya butuh makan, dan setiap hari selasa saya mengantarkan makanan ke penjara untuk anak saya.

Kasus diatas menunjukkan supremasi hukum ternyata belum sampai menyentuh lapisan masyarakat secara keseluruhan. Hukum yang dianggap sebagai penegak keadilan yang diakui dan dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat. Penulis mengamini bahwa perlu adanya analisa terhadap kasus diatas, yang kiranya dapat dijadikan pembelajaran bagi para pembaca. Penulis akan membahas beberapa point pembahasan yang mencoba menjelaskan kepada khalayak ramai bagaimana sebenarnya penyelesaian ataupun tindakan hukum yang layak diterapkan pada kasus tersebut.

Pertama, dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) sangat jelas menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Diikuti oleh pasal 1 KUHP yang dengan tegas menyatakan adanya asas legalitas sebagai dasar seseorang dikenkaan sanksi hukum ataupun pidana. 

Penulis menyajikan beberapa pandangan regulasi hukum terkhususnya dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan ("Permen LH 10/2010" Pasal 4 ayat (1) Permen LH 10/2010: Masyarakat hukum adat yang melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimum 2 (dua) hektar per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal wajib memberitahukan kepada kepala desa. 

Berdasarkan kasus diatas, anak tersebut tidak sampai membakar melebihi dari batas maksimum yang diamanatkan oleh undang-undang. Sehingga secara barang bukti, sebenarnya si anak dapat dikategorikan bebas dari tuntutan hukum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline