Lihat ke Halaman Asli

.

.

Punya Asuransi = Life style?

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13570591601895122555

Salah satu calon nasabah saya pernah menyampaikan, bahwa sepertinya para perencana keuangan, konsultan keuangan, atau konsultan asuransi, hanya fokus membuat planning untuk orang-orang kaya yang banyak uangnya saja. Sedangkan buat orang-orang miskin atau mereka yang keuangannya terbatas, sepertinya tidak pernah tersentuh. Demikian pendapat calon nasabah saya di suatu sore saat saya sedang melakukan tugas rutin sebagai seorang konsultan asuransi: prospek!

Menurut calon nasabah saya itu, seringkali para perencana keuangan, konsultan keuangan, atau konsultan asuransi, malah membuat bingung dan stress. Syarat dasar yang harus punya asuransi ini itulah, dana daruratlah, investasi ini itulah.. bla..bla.. bla.. ujarnya sambil mengunyah pempek yang saya bawakan sembari curcol. Resep asuransi misalnya. Macam-macam syaratnya. Ada yang bilang, kalau kita harus punya asuransi jiwa plus kesehatan plus sakit kritis plus kecelakaan. Ada yang bilang harus dipisah. Ada yang bilang sebaiknya digabung.

Mbuh.. mau digabung kek, mau dipisah kek, kalau uangnya tidak ada trus gimanaa??? Boro-boro untuk bayar macam-macam premi asuransi, sisihkan dana darurat, beli investasi dan laksanakan resep-resep keuangan lainnya. Wong untuk kebutuhan sehari-hari saja sudah sulit. Kalaupun ada gaji, tapi jumlahnya sudah mepet banget untuk penuhi semua kebutuhan. Mepet..pet..pet alias sudah habis..bis..bis.. sudah pas..pas..pas.. dan tidak ada sisa satu rupiah pun, ujar calon nasabah saya itu sambil sesekali melihat sendu ke contoh lembaran ilustrasi asuransi yang saya buat. Antara ingin punya tapi betul-betul tak punya uang lebih untuk membayar preminya. Nah, jika menemui kondisi demikian, biasanya pembicaraan pun bergeser menjadi prospek calon agen. Bukan lagi semata prospek menjadi calon nasabah. Hehehe.. Saya pun tersenyum.

***

Kali lain di suatu tempat. Ada nasabah saya yang berkomentar, jika jaman dahulu ortu mereka juga ga pake tuh, planning2an atau asuransi dan investasi macam-macam, tapi toh sehat-sehat saja dan bisa menyekolahkan semua anak-anaknya dan berhasil jadi orang (nasabah saya ‘lupa’ kalau ortunya sehat-sehat saja, itu bukan karena tidak punya asuransi, melainkan karena gaya hidup yang sehat dan diberi berkah sehat oleh Tuhan, sehingga tidak ada kewajiban menyediakan uang extra untuk biaya berobat. Penghasilan dan uang tabungannya pun menjadi aman untuk biaya sekolah anak-anaknya).

So, kalaupun saat ini nasabah saya itu memiliki beberapa asuransi dan juga berbagai investasi (salah satunya adalah dari perusahaan saya), itu lebih karena mengikuti trend, alias menggambarkan ‘status sosial’ semata. Punya asuransi banyak, artinya punya uang banyak untuk bayar premi. Hm.. Mendengar komentar nasabah saya itu, saya pun menjadi tersenyum kembali.

Ya, saya seringkali tersenyum-senyum sendiri jika mengingat-ngingat komentar para calon nasabah dan nasabah saya. Semuanya memberi pelajaran hidup untuk saya. Dan semuanya tidak ada yang salah, juga tidak ada yang benar secara mutlak. Tergantung dari sudut mana memandangnya. Tapi yang pasti, senyum saya di keduanya punya arti yang berbeda. Senyum yang pertama, senyum kecut dan senyum kedua, senyum beneran.

Senyum kecut lantaran ga closing sekaligus sedih plus prihatin. Sedih dan prihatin karena membayangkan bagaimana nasib keluarga calon nasabah saya itu, apabila terjadi sesuatu resiko padanya. Meninggal dunia misalnya. Suatu hal yang pasti, walapun tidak ada yang tahu kapan waktunya. Tidak ada pula yang ingin cepat-cepat menghadap sang pencipta. Tapi jika itu terjadi padanya sebagai kepala keluarga dan satu-satunya pencari nafkah keluarga saat ini, maka bagaimana nasib keluarganya? Haduuh… dalam hati saya berdoa agar calon nasabah saya diberikan usia panjang dan kesehatan agar dapat terus mendampingi istri dan kelima anaknya yang masih kecil-kecil itu hingga dewasa kelak. Amin.

Adapun senyum saya yang kedua, adalah senyum beneran. Senyum beneran untuk komentar nasabah saya. Pasalnya, karena ternyata memiliki asuransi dianggap sebagai life style dan identik dengan status sosial atau kelas sosial tertentu. Ya jadinya memang rada-rada mirip dengan yang pertama sih. Cuma beda posisi dan beda perspektif saja.

Memang, saat ini premi asuransi masih dianggap mahal. Oleh karenanya, memiliki asuransi dan membayar premi masih dianggap sebagai beban, belum menjadi kebutuhan. Padahal, murah atau mahalnya premi, tergantung pada kebutuhan dan besarnya pertanggungan yang ingin didapat.

Selain itu, penilaian murah atau mahal sebetulnya juga relatif. Dikatakan murah apabila kita mengeluarkan uang untuk membayar premi asuransi, dengan uang yang jumlahnya dibawah kemampuan kita. Sebaliknya, menjadi mahal jika uang yang dikeluarkan untuk membayar premi, diatas batas toleransi kemampuan kita. Ini penting lho, karena tidak tepat juga jika kita harus memaksakan diri membayar premi asuransi, tapi kemudian kita harus berpuasa tiap hari karena tidak cukup uang yang tersisa untuk makan 3x sehari misalnya. Hehe… artinya, membeli asuransi juga harus disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan kita, bukan karena terpaksa atau sebaliknya, life style.

Mayoritas orang Indonesia, masih dalam tahap proses penyadaran untuk mau memiliki asuransi. Karenanya, memiliki asuransi tidak harus langsung beli yang preminya besar/tinggi. Ada lho, asuransi yang preminya kecil/rendah. Tentunya dengan konsekuensi uang pertanggungan yang nilainya juga lebih kecil/rendah dibanding jika membayar dengan premi lebih besar/tinggi. Namun, lebih baik punya dengan pertanggungan kecil, daripada sama sekali tidak punya toh?

Saya tidak menyebut murah atau mahal untuk sebuah premi asuransi, melainkan menyebut kecil/rendah atau besar/tinggi. Seperti kata Mario Teguh, asuransi adalah membayar uang besar dengan uang kecil. “Jika kamu tidak paksa diri bayar uang kecil, maka kamu akan dipaksa bayar uang besar. Simple”. Demikian pendapat motivator kawakan itu, tentang asuransi.

Nah, lantas bagaimana jika uangnya betul-betul sudah habis sehingga sama sekali tidak ada alokasi sedikit pun untuk membayar premi asuransi, menyisihkan dana darurat, dan syukur-syukur bisa investasi untuk dana pensiun atau pendidikan anak?

Jika demikian kondisinya, maka kesimpulannya antara dua: yaitu, standar hidup yang harus diturunkan (agar uang yang ada menjadi cukup), dan jika tidak bisa diturunkan lagi, jelas artinya: pendapatan atau gaji yang memang kurang. Solusinya? Ya harus cari pendapatan tambahan atau cari kerja baru dengan gaji lebih besar. Mumpung baru awal tahun nih. Simple? *dansayapuntersenyumlagi (malam pertama di 2013).

F. Sidikah R/License AAJI* No. 11032246

(AAJI=Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia)

Konsultan pada salah satu perusahaan asuransi di Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline