Lihat ke Halaman Asli

Tentang Rinduku

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

oleh: Fitri A.B.


Benar, rinduku dan para perempuan di tepi-tepi bumi adalah rindu yang tak akan kau temui maknanya pada kamus manapun, pun pada purnama yang menyala-nyala di kehidupanmu. Kau tahu, kini tak ada sepi menepi di tepian hatiku saat aku memainkan detik-detik atau yang lebih kecil dari itu, meski setiap kali shubuh menginjakkan kakinya pada ujung lelapku, aku tetap menjenguk embun yang kini tak sendiri di pucuk daun timur itu. Sebab ketika kau berbalik dari hadapanku, kusempatkan hati memetik setangkai bunga dengan dua helai daun dari sudut utara, barat dan selatan hidupmu. Diam-diam kutanam ia hanya untuk menemani embun di pucuk daun timur itu.

Shubuh ketiga sejak kudengar kata-katamu itu, tetap ada hal lain yang asyik ia bincang-bincangkan dengan ilalang-ilalang yang baru berumur. Dari lorong jendela hatiku kudengar keseluruhan rahasia mereka: “Rindu itu tidak lagi menawanku dalam lemari hatinya untuk menyejukkan. Aku tidak akan terlambat lagi mengunjungimu yang tertikam sepi.”

Shubuh keempat, kumulai dengan menempatkan hatiku pada pertemuan antara aku dan Tuhanku demi sepucuk shirah. Tidak kusangka, rindu itu mengkristal jua pada sujud-sujud yang kutanam dalam-dalam di satu sajadah saja. Kusemat saja doa-doa tentang rindu, rindu dan rindu.

Shubuh kelima, kusuguhkan dua gelas rindu ke rumahmu yang kau tinggal sejak purnama pernah hanya separuh. Ada sebuah meja dengan 2 bangku di tamannya, ditambah bunga yang memekar tanpa warna yang sempat tertutup rimbun-rimbun sepi. Lalu, kutemukan sepucuk bayang emosi duduk disampingku sambil berbisik, “Apa yang kau lakukan disini?”. Kukatakan padanya, “Aku hanya menunggu sepi terganti ranum matahari.” Kau beranjak dariku dan pergi untuk tak lagi kembali meski sesekali.

Shubuh keenam, kurajut rahasiaku pada serambi cinta Tuhanku. Ku dapati Ia, selalu setia menantiku atau sesiapa yang tertimbun timbunan resah. Dengan seutuh hati, kubingkai yakin menjadi harmoni indah, lagi pada setiap sujud yang padanya kutanam harap itu. Kali ini, kuceritakan padaNya: “Kemarin, kutinggalkan satu gelas rindu di sebuah meja dengan 2 bangku di tamannya, ditambah bunga yang memekar tanpa warna yang sempat tertutup rimbun-rimbun sepi. Kau tahu, digelas itu ada rindu yang mengembun hanya bila sesak shubuh terdengar teratur di sekita angka 3 ke 6. Lalu, sekejab saja, hanya ketika langit telah ramai dengan tudingan-tudingan mereka, gelas itu akan kosong. Sebab pada gelas itu ada rindu yang kuberi nama “Kehidupan”. Hari ini, kuantar yang segelas lagi padaMu. PadaNya ada rindu yang makin menua dengan sebilah warna. Kukembalikan ia padaMu, rindu yang kusematkan sebuah nama padanya “Kedamaian”.”

Shubuh ketujuh, seusai menemui Tuhanku pada hamparan waktu yang tak pernah terkunci mati, aku salami hati dengan hati-hati. Kali ini kulihat awan membentuk wajahku, wajahmu, dan wajah mereka yang menitipkan rindu padaNya. Kudengar pula, celoteh bayu penuh senda gurau tentang kedamaian yang akan datang beriring-iringan. Lagi, kudapati aku yang mengukir sebait puisi saja pada sajadahmu: “Kutitip rindu ini pada-Mu….”

2011...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline